Setop Pembangunan Hotel di Bali, Tahun Ini Hotel di Bali Bertambah 2.326 Unit Kamar
Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali berencana menyetop atau memoratorium pembangunan hotel di Pulau Dewata.
Penulis: I Wayan Sui Suadnyana | Editor: Ady Sucipto
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali berencana menyetop atau memoratorium pembangunan hotel di Pulau Dewata.
Hal itu dilakukan karena ketersediaan kamar hotel saat ini sudah sangat berlebih (over suplay) jika dibandingkan dengan jumlah kedatangan wisatawan.
Plt. Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Bali Putu Astawa mengatakan, jumlah kamar hotel di Bali saat ini sekitar 146 ribu.
Dari keseluruhan jumlah tersebut, paling banyak berada di daerah Bali selatan yakni Kabupaten Badung dan Kota Denpasar.
Astawa mengatakan over suplay hotel di Bali ini menyebabkan terjadinya banting harga, terutama ketika pariwisata Bali sedang mengalami masa low session.
"Hotel bintang lima di Bali itu lebih murah dari homestay di luar negeri yang negara maju. Itu kan tidak pantas. Makanya harus ada standarisasi harga batas bawah. Ini akibat over load-nya jumlah kamar," kata Astawa saat ditemui Tribun Bali usai mengikuti acara 3rd Bali Internasional Tourism Conference 2019 di Ruang Pertemuan AA Made Djelantik Fakultas Kedokteran (FK) Unud, Kamis (26/9).
Karena itu, Astawa menyebut penting adanya moratorium atau penghentian pembangunan hotel di Bali.
Duduk Bersama
Astawa mengatakan, kebijakan moratorium hotel ini bukan di tingkat provinsi, melainkan semuanya berada di kabupaten dan kota di Bali.
Meski begitu, kata dia, Gubernur Bali Wayan Koster saat ini tengah komitmen menjalankan pemerintahan Bali yang one island, one management, and one voice.
Dengan adanya hal tersebut, seluruh pemerintah kabupaten dan kota termasuk Pemprov Bali akan duduk bareng guna membicarakan masalah tersebut.
Karena mengingat secara Undang-Undang, kebijakan moratorium ini memang tidak mungkin dijalankan di tingkat provinsi.
"Karena kalau masih tata kelola kita seperti ini akan tergilas. Makanya harus kita dukung, harus kita sosialisasikan agar manajemen kepariwisataan di Bali itu one island one manajemen," ungkapnya.
Astawa mengatakan, kebijakan moratorium pembangunan hotel di Bali ini guna menjaga pariwisata Bali tetap berkelanjutan atau sustainable sehingga bisa dinikmati generasi berikutnya.
Perlu dicatat bahwa kebijakan moratorium ini rencananya hanya akan dijalankan untuk hotel, sementara pembangunan homestay atau fasilitas penginapan lain yang sifatnya kerakyatan masih diizinkan untuk dibangun.
"Kalau menurut saya yang sifatnya kerakyatan tidak terlalu signifikan. Yang masalah yang ini, yang besar-besar ini," kata dia.
Lalu bagaimana dengan daerah di Bali yang mempunyai jumlah hotel sedikit, apakah juga akan dilakukan moratorium?
Astawa mengatakan, jika merujuk kondisi sekarang yang hotelnya sudah over kapasitas dan jarak Bali yang tidak luas, mubazir juga membangun hotel meski di daerah yang jumlah hotelnya sedikit.
Baginya, lebih baik dibiarkan seperti sekarang jumlah hotel tetap paling banyak di Bali Selatan dan tidak ada lagi pembangunan tambahan di daerah manapun.
"Toh pajak hotel di Bali selatan didistribusikan lagi ke daerah lain. Kan inilah one island one management itu ya. Kewenangan pariwisata kalau bisa di-manage di provinsi jauh bisa lebih sejahtera," tuturnya.
Sejak 10 Tahun
Ketua Pusat Unggulan Pariwisata Universitas Udayana (Unud), Anak Agung Putu Agung Suryawan Wiranatha, menyetujui adanya moratorium pembangunan hotel di Bali.
Bahkan dirinya mengaku sejak 10 tahun lalu sudah berbicara agar pembangunan hotel di Bali disetop, setidaknya untuk sementara waktu.
"Dulu kan namanya Puslit (Pusat Penelitian) Pariwisata. Puslit Pariwisata itu sudah 10 tahun lalu merekomendasikan moratorium di zamannya (Gubernur) Dewa Bratha, di zamannya Mangku Pastika, apalagi sekarang," tuturnya.
Menurut Agung Wiranatha, masalah utama pariwisata Bali adalah over suplay kamar dan ini harus segera diselesaikan. "Kalau masalah ini tidak diselesaikan, masalah lain tidak akan selesai. Makanya kalau mau masalah selesai, setoplah pembangunan hotel untuk sementara," tuturnya.
Over suplay kamar hotel ini menyebabkan harga kamar menjadi turun, yang akhirnya menurunkan pula pendapatan service bagi pegawai hotel.
Selain itu, pendapatan hotel juga berkurang sehingga manajemen hotel tidak bisa melakukan perawatan. Akibatnya kualitas properti hotel tersebut juga mengalami penurunan.
"Jadi masalah utama pariwisata Bali adalah kelebihan kamar. Kalau ini disetop setidaknya sampai lima tahun kedepan pariwisata Bali akan pulih kembali. Harga kamar akan naik, pariwisata Bali akan monyer (bagus) kembali," jelasnya.
Selama ini, rencana moratorium pembangunan hotel, khususnya di Bali Selatan, memang hanya sekadar wacana. Sebaliknya, pertumbuhan hotel terus bertambah setiap tahun. Termasuk di kawasan Ubud, Gianyar.
52.927 Kamar
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) dilihat dari sisi pasok, terdapat total 551 hotel berbintang dengan jumlah 52.927 kamar sepanjang 2018. Sedangkan berdasarkan data Jones Lang LaSalle (JLL) Asia, terdapat tambahan 1.723 kamar berkelas sepanjang 2018.
Pertumbuhan jumlah kamar hotel berkelas diperkirakan akan tetap bertumbuh hngga 4,4 persen sepanjang 2019 atau sekitar sebanyak 2.326 unit kamar. Adapun, dari 2019 -2022, pasok kamar hotel di Bali diperkirakan hanya akan bertumbuh 1,1 persen dengan pertimbangan seluruh proyek yang sudah diumumkan akan siap huni pada periode tersebut.
Beberapa hotel yang mulai dibuka tahun ini di antaranya Capella Ubud sebanyak 22 kamar, Element by Westin Bali Ubud (152 kamar), Fairfield by Marriott Bali Legian (160 kamar), Kempinski Nusa Dua Bali (475 kamar), Renaissance Uluwatu (207 kamar), dan Six Senses Uluwatu Bali (103 kamar). (*)