Pengamat Pariwisata Sarankan Bali Bentuk Media Center, Soal Bali Masuk No List Media Fodor’s Travel
Menurutnya, kalau mau introspeksi diri memang benar ada beberapa permasalahan terkait pariwisata Bali dalam beberapa tahun terakhir.
Penulis: Wema Satya Dinata | Editor: Meika Pestaria Tumanggor
Maka dari itu, Pemerintah diharapkan bisa melakukan upaya screening terhadap wisatawan yang datang ke Bali, dengan memastikan bahwa yang datang ini benar-benar wisatawan yang tidak membuat masalah.
Dikatakannya, dari dulu memang ada wisatawan yang membuat masalah, namun frekuensinya tergolong kecil.
Sedangkan sekarang pelaku pariwisata di Kuta mengatakan lima tahun terakhir masalahnya semakin banyak karena susah melakukan kontrol.
• Mengenal Desa Adat Penglipuran, Sejarah, Ritual Tradisional dan Konsep Filosofi Masyarakat Bali
• Berkunjung ke Alam Sambangan, Obyek Wisata Instagramable yang Menawarkan Berbagai Fasilitas
• Sepotong Jamur hingga Daging Ayam, Ini 8 Makanan Termahal di Dunia, Dua Diantaranya Ada di Indonesia
Dulu wisatawan tidak bebas masuk ke Bali karena ada seleksi, ada visa on arrival, dan mereka harus bayar.
Sedangkan kalau free visa mereka cenderung tidak membayar sama sekali.
“Mereka yang tanpa uang pun bisa datang, yang penting punya tiket,” imbuhnya.
Disisi lain kekawatiran atas pemberitaan itu, harusnya bisa diterima sebagai bahan introspeksi dan perbaikan.
Tetapi, tidak benar juga Bali dilist untuk tidak dikunjungi.
Kalau wisatawan yang berpikir rasional, maka dia akan berpikir ketika datang atau tidak datang ke sebuah destinasi maka menjadi urusannya sendiri.
Juga tak dapat dipungkiri bahwa berita di media juga mempengaruhi cara pikir wisatawan.
Maka dari itu ia menyarankan agar Bali membuat media center untuk mengcounter dengan memberikan berita opposite atau berita yang baik sehingga yang buruk itu ditutupi oleh banyak yang baik.
Dengan demikian animo wisatawan yang berkunjung ke Bali tetap meningkat.
Mengenai tudingan bahwa Bali mengalami over tourism, Suryawan pun membantahnya.
Over tourism itu maksudnya kalau wisatawan sudah tidak nyaman berada di sebuah destinasi dan masyarakat setempat juga merasa tidak nyaman.
“Kalau daerah Kuta boleh over tourism, tapi kalau daerah Tulamben atau Lovina apa over tourism, banyak yang kosong,“ ucapnya.