Kami Terombang Ambing di Laut, Memikul Sekarung Beras
Masih segar dalam ingatannya, bagaimana dia harus berjuang menjadi guru di wilayah perbukitan di Nusa Penida.
Penulis: Eka Mita Suputra | Editor: Ni Ketut Sudiani
Sudah 7 tahun lamanya I Ketut Sugiana (65) asal Desa Tojan, Klungkung resmi pensiun sebagai guru di Klungkung. Masih segar dalam ingatannya, bagaimana dia harus berjuang menjadi guru di wilayah perbukitan di Nusa Penida.
Di tengah segala keterbatasan saat itu, ia tetap gigih mengemban tugas sebagai seorang guru. Meskipun ketika itu ia ditugaskan di daerah terpencil. Hingga saat ini, ditugaskan mengajar di Nusa Penida masih menjadi momok bagi sebagian guru di Klungkung daratan. Tidak jarang, beberapa guru di Klungkung daratan menolak ketika dimutasi ke Nusa Penida.
"Tidak bisa dipungkiri saat ini terkadang bertugas di Nusa Penida dianggap momok bagi guru di Klungkung. Padahal saat ini, infrastruktur di Nusa Penida sudah sangat bagus," ujar Ketut Sugiana, Senin (25/11).
Ketut Sugiana menceritakan perjuangannya ketika harus menjadi guru di Nusa Penida. Ketika itu bulan Desember tahun 1976, I Ketut Sugaiana resmi diangkat sebagai Guru PNS dan ditugaskan di Desa Klumpu, Nusa Penida. Tanggung jawab sebagai seorang pendidik membuatnya harus menerima tugas itu.
"Saya putuskan ketika itu berangkat ke Nusa Penida bersama dengan istri dan anak saya yang masih balita," ujar Sugiana.
Ia bersama istri dan anaknya berangkat ke Nusa Penida melalui pelabuhan Banjar Bias Kusamba. Kondisi pada masa itu tentu berbeda dengan saat ini. Sugiana dan keluarganya harus menyebrang menggunakan perahu kecil. Saat menyebrang, Sugiana pun harus memikul satu karung beras dan bantal.
"Dulu itu, kami menyebrang menggunakan perahu kecil. Kami terombang ambing di laut, sambil memikul sekarung beras dan bantal," ujar Sugiana.
Kondisi infrastruktur di Nusa Penida saat itu masih jauh dari istilah layak. Jalan saja, masih berupa jalan setapak berbatu. Sampai di Nusa Penida, Sugiana bersama istri dan anaknya yang masih balita harus berjalan kaki ke daerah Klumpu yang terletak di perbukitan.
" Jalan kaki dari pagi sampai sore baru sampai di Desa Kelumpu. Jangankan bangunan permanen yang bagus, listrik saja belum ada saat itu," ungkap Sugiana.
Sugiana yang ditugaskan di SD N 2 Klumpu, sempat tinggal di rumah warga setempat. Saat itu, untuk mendapatkan air bersih sangat sulit. Ia sekeluarga harus memanfaatkan air hujan yang ditampung di cubang.
"Namun yang luar biasa itu, semangat masyarakat Nusa Penida untuk mengenyam pendidikan. Para orangtua sangat antusias memberikan pendidikan yang layak untuk anak-anaknya. Bahkan para orangtua memberikan rumahnya untuk tempat tinggal para guru. Sementara mereka ikhlas harus tidur di dapur. Paling penting bagi mereka, ada seorang guru yang mau mengajar anak-anak di desa," ujar Sugiana.
Selain itu, dahulu setiap guru yang mengajar di Nusa Penida tidak bisa pulang sembarangan ke Klungkung daratan. Kepala UPT Dinas Pendidikan di Nusa Penida selalu bersiaga di pelabuhan untuk mengantisipasi guru yang pulang ke Klungkung daratan.
"Saya sangat mengapresiasi bagaimana semangat siswa di Nusa Penida untuk mengenyam pendidikan di tengah berbagai keterbatasan. Mereka semangat belajar agar tidak dicap tertinggal. Nusa Penida itu terkenal tempatnya anak pintar. Terbukti siswa yang saya ajar dahulu, ada sudah menjadi dokter dan sebagainya. Padahal mereka dulu belajar serba keterbatasan," ungkap Sugiana.
Menurutnya, sistem pembelajaran yang digalakkan Menteri Pendidikan, Nadiem Makarim, saat ini sesungguhnya juga sudah di dilaksanakan saat itu di Nusa Penida. Siswa tidak diporsir untuk belajar dan siswa dibiarkan belajar secara mandiri.
"Keterbatasan Nusa Penida saat itu, tidak menghalangi siswa untuk mengenyam pendidikan. Di sana kondisinya saat itu sangat jauh dibandingkan Klungkung daratan, serba keterbatasan. Tapi semangat mereka bersekolah sangat luar biasa," ungkap Sugiana.
Ketut Sugiana mengajar di Nusa Penida selama 3 tahun. Sekitar tahun 1979, Sugiana mengalami demam tinggi dan kakinya membengkak. Ia didiagnosis penyakit kaki gajah sehingga ia harus pulang ke Klungkung daratan. Lalu Sugiana menjadi guru di sekolah SD di Klungkung hingga ia menjadi kepala sekolah di SD N 2 Kamasan dan pensiun tahun 2012 sebagai pengawas.
"Saya heran saat ini banyak guru agak manja. Artinya, mereka belum tahan banting. Kadang-kadang recruitment guru penempatan Nusa Penida, masih ada yang kosong pelamar. Padahal infrastruktur di Nusa Penida saat ini sudah sangat lancar," ungkapnya. (Eka Mita Suputra)