Penempatan Aksara Bali Diprotes Polda, Dewan Sebut Tidak Menyalahi Aturan

aturan mengenai aksara Bali dibiarkan berjalan dulu. Kemudian masukan dari Polda Bali akan dikaji bersama-sama kedepan.

Penulis: Wema Satya Dinata | Editor: Huda Miftachul Huda
TRIBUN BALI/ WEMA SATYADINATA
Foto bersama antara pihak Polda Bali, DPRD Bali dan Eksekutif usai menggelar pertemuan tertutup terkait penempatan aksara Bali di Ruang Rapat Gabungan, Kantor DPRD Bali, Rabu (27/11/2019). 

Menurutnya tujuan utama penggunaan aksara Bali ini adalah melestarikan budaya Bali. Hanya saja dalam kesempatan itu pihaknya atas perintah Kapolda Bali, Irjen Petrus Reinhard Golose,melakukan pelurusan terkait penempatan tulisan yang menggunakan aksara Bali di atas huruf Latin Bahasa Indonesia.

Lestarikan Bahasa Bali Secara Digital, BASABali Wiki Raih Penghargaan dari UNESCO

“Tidak ada kita membedakan atau melarang. Ini hanya sama-sama kita meluruskan. Poinnya adalah agar kedepan Bali tidak dijadikan contoh, (masyarakat menganggap ) di sana bisa (Bali), di sini harusnya juga bisa. Di Bali bisa, kenapa kita tidak,” kata Khozin, usai melakukan pertemuan tertutup dengan pihak Dewan dan Eksekutif di Ruang Rapat Gabungan, Kantor DPRD Bali, Rabu (27/11/2019).

Untuk mengantisipasi hal itu, lanjut dia, maka landasan dasar hukum yang digunakan adalah UUD 1945 pasal 36, UU nomor 24 tahun 2009 dan UU nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Maksud dari landasan dasar hukum itu adalah keberadaan aksara Bali menjadi pertimbangan Kapolda agar penempatan penulisannya sesuai dengan aturan dan landasan UUD 1945, UU nomor 24 tahun 2009 dan sumpah pemuda.

Sambungnya, karena Bahasa Indonesia merupakan bahasa persatuan, maka tetap bahasa Indonesia yang menjadi bahasa yang diutamakan, sehingga penempatan aksara latin seharusnya berada di atas aksara Bali.

“Kalau sampai ini nanti, di sini (di Bali) (dianggap) bisa berjalan, karena maunya masyarakat. Tapi takutnya nanti dijadikan contoh oleh daerah-daerah yang lain. Contoh Papua punya bahasa sendiri, Kalimantan punya bahasa sendiri. Begitu juga Aceh dan Jawa,” tuturnya.

Ia menambahkan seharusnya saat membuat Perda atau Pergub, Pemerintah daerah mengundang semua pihak baik dari akdemisi, pengadilan, kejaksaan, kepolisian dan LSM.

“Oo, tiba-tiba Pergub sudah keluar. Bapak Kapolda kemudian membaca, oo bahaya ini. Akhirnya Pak Kapolda memerintahkan kami agar hal ini dikoordinasikan. Dan kalau bisa direvisi supaya tidak dijadikan contoh oleh daerah lain,” ujarnya.

Saat ditanya mengapa baru sekarang pihak Polda mempermasalahkan hal itu, Khozin menyampaikan pihaknya tidak pernah diundang dalam penyusunan Pergub, dan tiba-tiba saja Pergub sudah jadi.

Jika suatu peraturan sudah diterbitkan maka memang harus dijalankan. Namun kalau peraturan itu sudah berjalan tetapi ada masalah, sebagai antisipasi kedepan, bisa saja aturan tersebut direvisi.

Selanjutnya setelah Pergub 80 dibaca oleh Kapolda ditemukan ada kendala. Bahwa dalam penempatan aksara Bali, diatasnya harus Bahasa Indonesia atau aksara latin sebagai bahasa persatuan, baru dibawahnya diisi aksara daerah.

Masukan itu diberikan tujuannya agar daerah lain tidak mencontoh aturan yang ada di Bali. “Contohnya seperti di Yogyakarta, tetap atasnya nama Malioboro, (kemudian) dibawahnya baru aksara Jawa,” imbuhnya.

Adapun kesimpulan dari pertemuan tersebut adalah masukan dan saran yang disampaikan pihak Polda Bali sementara ditampung dulu. Sehingga dari masukan ini akan dibicarakan kembali nanti dengan pihak eksekutif, legislatif dan yudikatif. (*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved