Liputan Khusus

Waspadai Tanah Kembang-Susut di Ubung Denpasar, Ahli Ini Ungkap Potensi Bahayanya

Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Pengurus Daerah (Pengda) Bali menemukan struktur tanah yang tak biasa di wilayah Kota Denpasar.

Penulis: I Wayan Sui Suadnyana | Editor: Ady Sucipto
Tribun Bali/Prima
Cekungan Air Tanah (CAT) di Pulau Bali. 

Proses yang cenderung berubah di antaranya adalah akibat adanya pengambilan air tanah tidak secara alami. Misalnya, dengan cara pengeboran.

“Pengambilan air tanah dengan cara penggalian atau pengeboran ini tergolong rekayasa, bukan alami.

Terjadinya alih fungsi lahan, yang membuat berkurangnya area terbuka pada kawasan industri dan pemukiman juga berakibat pada berkurangnya infiltrasi air hujan ke dalam tanah.

Selain itu, berkurangnya kawasan hutan sebagai kawasan imbuhan mengurangi pula infiltrasi air hujan. Padahal air hujan itu merupakan bahan baku dari air tanah,” terang Ariantana.

Untuk mempertahankan keseimbangan siklus hidrologi, Ariantana meminta agar pengambilan air tanah di Bali dikendalikan.

Caranya, dengan mengurangi pengambilan air tanah, memaksimalkan pengambilan atau pemanfaatan air permukaan, serta melakukan konservasi sumber daya air (SDA).

“Begitu simple dan mudah disebutkan, tetapi sangat sulit dilaksanakan.

Sebab, langkah ini membutuhkan kesadaran dan pemahaman dari setiap individu maupun komunitas. Juga membutuhkan sinergitas antar instansi terkait.

Selain itu, yang penting adalah adanya komitmen dari setiap pimpinan dan kepala daerah. Karena berbicara SDA tidak bisa berpatokan pada batas administrasi kabupaten/kota,” jelas Ariantana.

Menurut dia, membandingkan Bali di tahun 80-an dengan Bali saat ini sudah tentu sangat berbeda.

Dari sisi jumlah penduduk, pada tahun 80-an masih sebanyak 2 juta jiwa, dan saat ini hampir mencapai 5 juta jiwa.

Pun jumlah pendatang (tidak tercatat sebagai penduduk Bali) dan wisatawan meningkat berlipat-lipat.

“Sesuatu yang alamiah jika kebutuhan air bersih pun meningkat tajam di Bali.

Pembangunan akomodasi wisata juga berkembang pesat ke segala kawasan, dengan alasan pengembangan ekonomi. Diiringi pula alih fungsi lahan produktif menjadi pemukiman,” katanya.

Selain itu, berkurangnya area imbuhan alami berakibat pada berkurangnya debit air permukaan. Kualitas air permukaan pun kurang baik akibat polusi sampah dan polusi limbah rumah tangga.

Kondisi-kondisi tersebut menyebabkan PDAM kewalahan dalam penyediaan air bersih. Dunia usaha maupun penduduk secara mandiri mencari alternatif, dan air tanah menjadi pilihan yang mudah dan efisien.

“Semua PDAM di Bali juga mengambil air tanah sebagai air yang didistribusikan (dijual).

Tapi di balik itu, pengambilan air tanah yang terus-menerus dan semakin intensif, dipastikan akan berakibat pada berkurangnya cadangan di dalam tanah.

Apalagi tingkat resapan air hujan ke dalam tanah juga berkurang.

Dapat dipastikan akan terjadi krisis air bersih. Akan makin cepat datangnya krisis itu jika pengambilan makin intensif, sementara intensitas resapan air hujan semakin berkurang,” jelas dia.

Agar Bali terhindar dari krisis air, menurut IAGI, sumber daya air di Provinsi Bali harus dikelola dengan konsep One Island, One Management dan ini akan sejalan dengan visi Gubernur Bali Nangun Sat Kerthi Loka Bali.

“Tinggal sekarang bagaimana dan dari mana memulainya. Sudah tentu semua bupati dan wali kota bersama gubernur mesti duduk bersama,” kata Ariantana.(*) 

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved