Ngopi Santai
Jerit Perih Peternak Babi di Bali
Malah makin lantang mencabik langit Pulau Dewata lantaran kematian babi secara mendadak kian kencang saja.
Penulis: DionDBPutra | Editor: Rizki Laelani
Perkara ini menarik atensi justru karena fakta bahwa korban babi masih terus berjatuhan.
Makin ke sini angkanya melejit dengan cakupan wilayah epidemi kian luas.
Awal di Denpasar lalu menjalar ke Badung. Tak lama merambah Tabanan dan Gianyar.
Karangasem dan Bali di timur Bali pun mulai kena.
Mungkin tak lama lagi akan terdengar jeritan peternak babi dari Klungkung, Buleleng di utara dan Jembrana di jantung lalu lintas super sibuk Bali Jawa.
Kematian babi hari demi hari mengalirkan lara. Menurut pengakuan sejumlah peternak, babi yang montok, sehat dan rakus tiba-tiba murung, mencret dan kehilangan nafsu makan.
Tak berselang lama ternak andalan sebagian besar petani di Bali itu meregang nyawa lalu mati. Tak terdengar lagi suaranya yang gaduh.
Dari sumber protein bernilai ekonomis tinggi, babi mendadak berubah jadi bangkai.
Celakanya lagi sejumlah orang tega membuang bangkainya ke sungai atau tebing. Duh!
Dampaknya perih mengiris. Bagai tersayat sembilu. Banyaknya babi yang mati di beberapa kabupaten membuat harga daging babi di Bali merosot tajam. Hampir 50 persen.
Umumnya peternak babi buru-buru menjual babi dengan harga murah.
Mereka berpandangan lebih baik jadi duit ketimbang ternak yang dipelihara dengan biaya tak secuil itu mati sia-sia.
Psikologi massa jauh lebih pelik. Kematian babi sungguh menebar cemas dan kepanikan.
Hari-hari ini masyarakat takut konsumsi daging babi sehingga penjualan di pasar menurun tajam.
Meski pakar kesehatan bersabda virus yang menyerang hewan ungulata asli Eurasia ini tidak menular pada manusia, tapi tetap saja orang mengerem niat konsumsi si omnivora tersebut.