Ngopi Santai
Jerit Perih Peternak Babi di Bali
Malah makin lantang mencabik langit Pulau Dewata lantaran kematian babi secara mendadak kian kencang saja.
Penulis: DionDBPutra | Editor: Rizki Laelani
Petugas kami di lapangan sudah ambil sampel darah dan organ dalam babi yang mati mendadak untuk diteliti di laboratorium Balai Besar Veteriner (BB Vet) Denpasar.
Dari BB Vet Denpasar sampel tersebut dikirim ke BB Vet Medan untuk diteliti lebih lanjut.
Dari Medan hasilnya dibawa lagi ke Jakarta sehingga memerlukan waktu lama untuk identifikasi apakah kematian babi disebabkan penyakit African Swine Fever (ASF) atau demam babi yang mewabah di berbagai negara.
Dan, yang berwenang mengumumkan adalah pihak Kementerian Pertanian. Bukan kami di daerah.
Kami juga tidak bisa berbuat banyak lantaran obat dan vaksin penyakit babi tersebut belum tersedia.
Langkah yang sudah kami lakukan adalah memberikan edukasi kepada masyarakat tentang cara mencegah penyebaran wabah.
Pencegahan dengan menerapkan bio sekuriti yaitu selalu menjaga kebersihan kandang, semprot disinfektan, membatasi ketat orang, barang, bahan dan hewan keluar masuk kandang babi guna mencegah virus.
Begitulah tuan dan puan. kurang lebih pernyataan pemerintah ihwal kematian babi di Bali. Jelas beda pandang dan aksi.
Tanggapan atas geger babi mati kalah sigap dibanding heboh virus corona dari Wuhan, kota dengan 206 danau.
Demam virus dari tepian Sungai Yangtze jauh lebih bergemuruh dan mendapat atensi ketimbang demam babi, ternak andalan ekonomi keluarga sebagian krama Bali.
Perbandingan ini mungkin bak rambutan dan apel, bukan apple to apple.
Cuma di tengah era keterbukaan informasi serta kemajuan teknologi, menanti hasil laboratorium berbulan-bulan itu sungguh sesuatu.
Sebenarnya ada apa denganmu? Hanya semesta yang tahu.
Tapi setidaknya Semeton Dewata pastilah tahu bahwa babi mati mendadak sudah mengguncang Indonesia sejak muncul kasus perdana di Tapanuli, Sumatera Utara September 2019.
Itu hampir setengah tahun yang lalu.
Berhari-hari kematian babi di sana menjadi berita utama media massa Tanah Air.
Makin menarik tatkala ribuan bangkai babi mengambang di danau dan sungai lantaran peternaknya malas mengubur dan bingung mau buang ke mana lagi.
Sampai bulan Desember 2019, Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan Sumatera Utara menyebut jumlah babi yang mati mencapai 30.000 ekor.
Tercatat kematian massal ternak ini terjadi di 16 kabupaten Sumatera Utara.
Seperti diwartakan Kompas.Com, Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan Sumatera Utara Azhar Harahap menyebutkan, daerah yang alami kematian babi secara massal adalah Dairi, Humbang Hasundutan, Deli Serdang, Medan, Karo, Toba Samosir, Serdang Bedagai, Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, Simalungun, Pakpak Bharat, Simalungun, Siantar, Tebing Tinggi dan Langkat.
"Yang tertinggi di Dairi, Karo dan Deli Serdang," kata Azhar di kantor Gubernur Sumatera Utara, Jumat (20/12/2019).
Penyebab kematian babi di Sumatera Utara jelas yaitu virus hog cholera atau kolera babi dan terindikasi African Swine Fever (ASF).
Merebaknya virus itu dimulai sejak 25 September 2019. Matinya hewan itu terjadi sangat cepat. Dalam satu hari, angka kematian yang terlapor rata-rata 1.000 - 2.000 ekor.
Kecenderungan serupa itu mulai terjadi di Bali sekarang.
Kasus awal di Denpasar hanya belasan ekor. Seiring waktu berlalu jumlahnya meningkat
sekian kali lipat.
Angka kematian sudah lebih dari 1.000 ekor. Untuk wilayah serawit Bali, bila dibandingkan Sumatera Utara, bencana ini kiranya tidak dipandang remeh.
Keresahan peternak menebal. Maka bisa dimengerti bila mereka menuntut pemerintah segera mengumumkan hasil laboratorium untuk mengetahui penyebab pasti kematian babi dan solusinya.
Selama ini peternak sudah menjadi korban dari ketidakjelasan informasi tersebut.
“Ini kejadian yang luar biasa. Sangat berdampak terhadap peternak dan konsumen,” kata Ketua Gabungan Usaha Peternak Babi Indonesia (GUPBI) Bali, Ketut Hari Suyasa kepada Tribun Bali, Jumat (31/1/2020).
Pengusaha ternak babi sangat menyayangkan hasil laboratorium tidak kunjung datang, dengan alasan yang berhak mengumumkan hasil laboratorium tersebut Kementerian Pertanian.
“Kita kan ingin tahu virus ini African Swine Fever atau bukan? Sampai sekarang kita masih menunggu,” kata Suyasa.
Menurut dia, jika sudah jelas penyebabnya, pemerintah dan peternak bisa menentukan tindakan yang tepat demi mencegah jatuhnya korban babi berikutnya.
Bola panas sekarang ada di tangan pemerintah daerah Bali.
Segera bergegas mengambil langkah cepat atau mendiamkannya.
Negara harus hadir di tengah penderitaan rakyat. Itulah idealnya.
Tugas pemerintah mempersuasi masyarakat agar kecemasan dan kepanikan segera berakhir.
Mendengar curahan hatinya sekaligus berikan solusi atas persoalan yang dihadapi.
Mengutip pandangan pakar Komunikasi Politik Jerman Elisabeth Noelle-Neumann, pemerintah tidak boleh menyuburkan fenomena yang dikenal sebagai teori Spiral of Silence atau Spiral Kebungkaman.
Orang takut mengungkapkan pandangan atau pendapat karena khawatir akan sesuatu.
Sebaliknya pemerintah wajib menularkan virus keterbukaan karena bonum commune (kebaikan bersama) hanya bisa tercapai dengan itu.
Tidaklah elok pemerintah justru memberi kesan seolah sedang menutup-nutupi sesuatu. Ah seandainya bulan bisa omong… (dion db putra)