Upacara Pitra Yadnya Siwa Sumedang, Ngaben Sederhana Umat Hindu
Tetapi, ada baiknya, dalam melaksanakan upacara, agar disesuaikan dengan keadaan masing-masing, terutama keadaan ekonomi.
Penulis: Ni Kadek Rika Riyanti | Editor: Wema Satya Dinata
Laporan Wartawan Tribun Bali, Ni Kadek Rika Riyanti
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR – Salah satu ciri khas agama Hindu di Bali adalah upakara atau banten, sehingga tiada hari tanpa melaksanakan upacara atau mempersembahkan banten ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa sebagai wujud bhakti dan terima kasih atas berkah-Nya.
Tetapi, ada baiknya, dalam melaksanakan upacara, agar disesuaikan dengan keadaan masing-masing, terutama keadaan ekonomi.
Sehingga nantinya, upacara terutama Pitra Yadnya dapat dilaksanakan dengan tulus ikhlas tanpa paksaan.
Makna itulah yang ingin ditekankan dalam Seminar dan Loka Karya Nasional bertajuk ‘Upacara Pitra Yadnya Siwa Sumedang: Sebuah pilihan bagi umat Hindu’ yang bertempat di Aula Parisada Hindu Dharma Indnesia (PHDI) Provinsi Bali, Jalan Ratna, Tonja, Kecamatan Denpasar Utara, Kota Denpasar, Bali, Sabtu (7/3/2020).
• Kapal Viking Sun Dekati Pelabuhan Benoa, KKP Kelas I Denpasar Kerahkan Petugas Cek Kru dan Penumpang
• Industri Hotel di Bali Babak Belur Akibat Wabah Virus Corona, Seberapa Parah?
• Dampak Wabah Virus Corona, Tingkat Hunian Hotel di Nusa Dua Turun 16 Persen
Seminar dan loka karya yang digelar oleh Yayasan Veda Posanam Ashram Suarga Shanti ini dihadiri oleh sebanyak 285 peserta yang terdiri dari 73 Sulinggih dan 212 Pinandita dan Walaka.
Pada seminar ini menghadirkan narasumber antara lain Dharma Adiyaksa PHDI Pusat Ida Pedanda Nabe Bang Buruan Manuabe, Ketua Saba Walaka PHDI Bali Dr. Made Suasti Puja, dan seorang Sulinggih Ida Pandita Mpu Nabe Abra Baskara Mukti Biru Daksa.
Pada seminar ini sekaligus memperkenalkan kepada umat Hindu mengenai Upacara Pitra Yadnya Siwa Sumedang, yang mana merupakan salah satu upacara pengabenan yang disebut-sebut dapat dilaksanakan dengan sederhana.
Upacara Pitra Yadnya Siwa Sumedang memiliki arti Siwa yang Gaib.
Bardasarkan pemaparan Ida Pandita Mpu Nabe Abra Baskara Mukti Biru Daksa yang bersumber dari Buku Kumpulan Weda Puja Pitra Siwa, milik Pemerintah Provinsi Bali, yang diterbitkan oleh Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, Tahun 2001, dan Lontar Weda Puja Pitra Siwa milik Griya Nyitdah, disebutkan bahwa Pitra Yadnya Siwa Sumedang merupakan:
Pamilakuniya: Manistha, madya, utama.
Kramaniya: Tanpa Wadah, tanpa Patulangan, tanpa Damarkurung, Matiwa-tiwa, Ngelanus puput ring Setra.
Swarganiya: Ring Madya.
Kawahniya: Weci desa.
Pa adang-adang niya: Sang Buta Angga Sakti
Cikrabalaniya: Watek Danuja.
Widyadariniya: Dewi Suparmi.
Wikuniya: Bagawan Nilaruci.
Dewaniya: Dewa Siwa.
Thirtaniya: Amrtha Sanjiwani.
Jika disimak dengan seksama, maka akan diperoleh kesimpulan bahwa begitu mulianya Upacara Pitra Yadnya ini, karena di sini ada keterlibatan Dewa Siwa untuk langsung menggaibkan Sang Inupakara ke Siwa loka (ring Madya), dengan cara yang sederhana (tanpa wadah, tanpa Patulangan, tanpa Damarkurung atau lampu kurung, ngelanus puput ring setra), dan ini sangatlah fleksibel (manistha, madya, utama), dan sangat tepat untuk dilaksanakan oleh berbagai lapisan masyarakat kita yang sangat majemuk dewasa ini.
• Ini Alasan Kawasan Nusa Dua Dilakukan Proses Desinfeksi Oleh Pemprov Bali
• Walau Belum Dapat Izin, Kapal Pesiar Viking Sun Nekat Dekati Pelabuhan Benoa Bali
“Itu sebabnya pengabenan seperti ini kalau kita cari perjalanannya, pembagian pengabenan jika berdasarkan keputusan Parisadha Tahun 1968 merupakan tingkatan kanista (tingkatan paling rendah). Tingkatan terendah ini bukan berarti tingkatan yang paling jelek. Kanista ini artinya sederhana. Sama seperti halnya upacara tingkatan yang paling utama, hanya saja banten, jalannya upacara, waktu yang dihabiskan singkat,” ujar Prof. Dr. Drs. I Gusti Ngurah Sudiana, M.Si selaku Rektor IHDN Denpasar, ketika diwawancarai awak media di PHDI, Sabtu (7/3/2020).
Sehingga, sambung Prof Sudiana, pengabenan harus berjalan dengan ikhlas tanpa adanya perasaan terpaksa. Nantinya Upacara Pitra Yadnya Siwa Sumedang ini dapat dijadikan pedoman bagi umat Hindu.
Dirinya juga mengatakan bahwa Upacara Pitra Yadnya Siwa Sumedang ini juga bisa dilaksanakan secara massal.
“Kalau saya merasa tidak menghendaki dilaksanakan secara massal, agar tidak kelihatan mati, karena kalau tidak ada yang mati kan tidak ada yang ngaben,” pungkasnya.
Maka dari itu, umat Hindu diharapkan dapat memilih yang terbaik dan sederhana.
Nantinya apabila Upacara Siwa Sumedang ini kalau sudah jadi keputusan Parisadha, dapat menjadi alternatif oleh umat Hindu untuk menjalankan pengabenan.
“Ini sangat penting. Banyak umat Hindu yang akan mampu mengikuti pengabenan ini karena biayanya sedikit, waktunya singkat, mengenai penutupnya seorang Mangku Pandita boleh menutup upacara pengabenannya,” tegasnya.
Perlu juga diingatkan, lanjut Prof Sudiana, Upacara Pitra Yadnya Siwa Sumedang ini tidak mengurangi tatwa, susila, maupun acara yang sudah berjalan di pengabenan yang lainnya.
“Maknanya sama tetapi hanya berbeda sedikit pada banten, waktu, penutup, dan masalah upacara lainnya,” nilainya.
“Upacara pengabenan ini sangat cocok untuk umat yang perekonomiannya minim dan juga bagi umat yang sulit mendapatkan waktu untuk melaksanakan upacara ngaben, sehingga dapat memilih upacara ini agar dapat melaksanakan upacara pengabenan secara singkat,” imbuhnya.
Prof Sudiana berharap, isi dari Upacara Siwa Sumedang ini bisa dirumuskan dan dibawa ke Persamuan Agung, sehingga dapat menjadi keputusan dari PHDI pusat, agar nantinya dapat digunakan sebagai pedoman untuk umat Hindu pada saat ngaben.
Terkait pelaksanaan sebelumnya, Prof Sudiana mengatakan Upacara Pitra Yadnya Siwa Sumedang ini sudah ada yang menjalankan, akan tetapi belum begitu banyak karena belum disiarkan ke umat Hindu lainnya.
Ia juga mengatakan pada upacara ini umat Hindu diperbolehkan menggunakan petulangan (tempat jenazah) tapi secara sederhana sekali.
“Nantinya ini (tetulangan) akan disuun (digotong) tanpa memerlukan wadah. Contohnya Ida Pedanda Ida Made Sidemen Sanur, beliau menjalankan Upacara Siwa Sumedang. Beliau disuun (digotong) sederhana sekali. Itu tidak memerlukan biaya karena semua tatwa persyaratan pengabenan sudah dipenuhi dalam upacara tersebut,” tutupnya. (*)