Serba Serbi
Sejarah Singkat Prosesi Ngerebong di Pura Petilan Pengerebongan Denpasar
Ngerebong pada intinya merupakan sebuah peringatan suksesnya atau kejayaan raja-raja pada zamannya, berikut ini sejarah singkatnya
Penulis: Putu Supartika | Editor: Irma Budiarti
Sejarah Singkat Prosesi Ngerebong di Pura Petilan Pengerebongan Denpasar
Laporan Wartawan Tribun Bali, I Putu Supartika
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Setiap enam bulan sekali, di Pura Petilan Pengerebongan, Kesiman, Denpasar, Bali, digelar prosesi Ngerebong.
Minggu (8/3/2020) sore hari ini digelar Pangerebongan.
Di bawah guyuran hujan, ratusan orang datang dan memenuhi areal pura.
Walaupun hujan mereka tetap berdatangan ke pura untuk ngayah maupun menonton prosesi ini.
Dikarenakan hujan lebat, maka tapakan berupa rangda maupun barong tak ikut ngider bhuana, dan tak ada ngurek seperti Ngerebong biasanya saat hari cerah.
Sehingga yang digelar hanya upacara pokok, yakni ngider poleng dengan maider bhuwana sebanyak tiga kali ke arah kiri (balik arah jarum jam), untuk menyucikan jagat atau ngerebu gumi (membersihkan tanah atau pertiwi).
Acara baru maider bhuwana ini baru dilaksanakan sekitar pukul 17.20 Wita, dikarenakan hujan yang begitu deras.
Di tengah prosesi, hujan pun tetap mengiringi, bersanding dengan alunan gambelan.
Puluhan orang pun kerauhan (trance) dalam acara ini.
Maider Bhuwana ini diawali dengan aneka kober.
Kemudian disusul dengan perempuan-perempuan yang menggunakan baju serba putih sambil menari.
Selanjutnya lelaki menggunakan pakaian seperti prajurit, dan di belakangnya perempuan berpakaian serba putih yang memikul kain poleng panjang, serta disusul dengan lelaki berpakaian poleng membawa aneka senjata mulai dari keris, pedang dan gada.
Hingga upacara selesai, beberapa orang yang terlibat dalam upacara ini terlihat basah kuyup.
Namun upacara berjalan dengan lancar.
Tradisi ini merupakan tradisi enam bulanan yang dilaksanakan seminggu setelah Umanis Kuningan atau tepatnya pada Redite (Minggu) Pon Medangsia.
Budayawan yang juga tetua Desa Adat Kesiman I Gede Anom Ranuara mengatakan, Ngerebong pada intinya merupakan sebuah peringatan suksesnya atau kejayaan raja-raja pada zamannya, yang dikemas dengan sistem relegi untuk memperkuat dan mengeksistensi keberhasilan raja saat itu.
“Karena dilihat dari Pura Petilan ini adalah senter upacara tempat upacara besar di Kesiman. Ini ritual atau pengilen atau prosesi dari sejarah kejayaan itu. Dimana Raja Kesiman sempat melaksanakan ekspansi ke Sasak, Lombok,” katanya.
Ekspansi tersebut dilakukan dengan tiga tahap yakni penyerangan, penggempuran dan keberhasilan.
Untuk keberhasilan penggempuran ada beberapa ritual di Pura Uluwatu yang dilakukan raja, dan ada beberapa kaul untuk dapat kesuksesan.
Pertama, raja memohon ke Pura Uluwatu dan dianugerahi keris bernama Ki Cekle.
Dengan menggunakan keris itu Sasak pun ditaklukkan.
“Sasak tak mau mengalah dan meminta diadakan adu jangkrik. Raja menerima dan menggunakan jangkrik betulan, tapi di sana menggunakan jangkrik siluman sehingga sempat kalah, dan kembali ke Uluwatu biar menang adu jangkrik,” jelasnya.
Saat itu konon ada sabta sesuhunan di Pura Uluwatu yang meminta raja ngereh lemah atau ngereh siang hari.
Raja menyanggupi dan setelah itu raja diminta mengambil pemicu (pengilitan) jangkrik di Pura Muaya Jimbaran, mencari makanannya di Pura Dalem Kesiman berupa jepun putih, dan jangkrik berupa jangkrik kuning diambil di Padanggalak.
“Jangkrik diadu di sana, berubah jadi Banaspati, mengalahkan jangkrik siluman dan terbakar. Sebelum ada adu, ada perjanjian kalau Kesiman kalah akan diambil Sasak, dan jika Kesiman menang, Bugis dan Sasak akan dibawa ke Kesiman,” katanya.
Ekspansi tersebut terjadi sekitar tahun 1860, dan sejak saat itu dilaksanakan upacara ngerebong yang merupakan upacara syukuran, yang awalnya dilakukan di Puri Kesiman sebelum dipindah ke Pura Petilan Pengerebongan.
Berdasarkan catatan Belanda, era tahun itu kendali politik Bali dan Lombok memang berada di Kesiman.
Akan tetapi saat adanya Puputan Badung, pelaksanaan ngerebong sempat berhenti beberapa waktu.
Tahun 1937 pengerebongan kembali digelar dan dilakukan di Pura Petilan karena saat itu pura ini selesai dibangun.
Pada pelaksanaannya tahun 1937, prosesi ini dikemas dalam tiga tahapan yang tidak bisa terpisahkan.
Pertama saat Umanis Galungan yang disebut ngebek, kedua saat Pahing Kuningan yang disebut dengan ritual mapag, dan ketiga yakni ngerebong.
Tahun 2018 kemarin tradisi ini masuk dalam warisan budaya tak benda.
Dengan dijadikannya ngerebong ini warisan budaya tak benda, Anom berharap inti dari ngerebog tidak hilang.
“Kalau pendukung mungkin akan berkembang sesuai level pemahaman manusia. Semakin tinggi budaya semakin tinggi juga pemaknaannya, yang penting intinya tidak hilang,” katanya.
(*)