Bali Paradise

Gede Yadi Pertahankan Resep Turun-temurun Keluarga Lewat Laklak 'Laku 168'

Jika ada makanan yang dicari karena sedang hits, tentu juga ada laklak yang dicari karena menjadi legenda.

Penulis: Noviana Windri | Editor: Ida Ayu Suryantini Putri
TRIBUN BALI/NOVIANA WINDRI
Gede Yudi Ariawan saat ditemui di Laklak Buleleng 'Laku 168' di Jalan Drupadi, Sumerta, Denpasar, Bali. 

Laporan Wartawan Tribun Bali, Noviana Windri Rahmawati

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Jika ada makanan yang dicari karena sedang hits, tentu juga ada laklak yang dicari karena menjadi legenda.

Salah satunya adalah jajanan tradisional khas Bali yaitu laklak.

Dari sekian banyak warung laklak yang ada di Bali, khususnya di daerah Denpasar, Laklak 'Laku 168' juga bisa menjadi legenda karena mempertahankam cita rasa asli dan resep turun-temurun dari keluarga.

Konsistensi dan ketekunan menjaga cita rasa dan kualitas laklak menjadikan Laklak 'Laku 168' bertahan di pasaran hingga mendapat langganan dari kantor pemerintahan.

Gede Yadi Ariawan, pemilik Laklak 'Laku 168' menyebutkan usaha laklak yang ia mulai sejak tahun 2016 ini adalah usaha turun-temurun dari sang nenek dan ibunya.

Sebaiknya Jangan Sampai Berutang, Ini Solusi Mengatur Biaya Nikah yang Kian Mahal untuk Milenial

Ramalan Zodiak Cinta Besok Minggu 15 Maret 2020: Jangan Terlalu Sedih Aries, Libra Merasa Terkekang

3 Cara Sederhana Mengelola Keuangan untuk Single Parent

Namun, saat itu, nenek dan ibunya hanya membuka usaha laklak di desa asalnya yaitu Desa Gobleg, Singaraja.

Setelah ia lulus sekolah dari SMA Pariwisata Triatmajaya, Singaraja ia lantas merantau ke Denpasar dan membantu kakaknya berjualan ayam betutu.

Namun, pada tahun 2017 usaha ayam betutu berhenti, lantas ia mencari inovasi lain agar usahanya tetap berjalan yaitu dengan berjualan laklak yang dimulai tahun 2016.

"Dulu kenapa memilih berjualan laklak karena saat di Singaraja nenek dan ibu saya juga sudah berjualan laklak. Jadi resepnya juga turun-temurun saya dapatlan dari orangtua," ujarnya.

Terlambat Menikah Justru Membawa Dampak Positif dan Bikin Lebih Bahagia, Benarkah?

Ini Jenis-jenis dan Manfaat Olahraga Ringan di Rumah

Kabar Bahagia, Pemain Bali United Spaso Kembali Fit, Siap Hadapi Madura United

Selain itu, ia juga mengungkapkan alasan lain yaitu dari sekian banyak penjual laklak sudah jarang ditemui penjual laklak yang menggunakan bahan pewarna alami dan kayu bakar dari kayu kopi.

Alasan terakhir adalah ia ingin melestarikan jajanan tradisional laklak agar tetap eksis.

"Karena di kampung kan susah berkembang. Maka saya ikut merantau ke Denpasar karena pengen berkembang," sambungnya.

Dalam produksi, Yudi dibantu oleh 7 karyawan di 2 warung warung Laklak 'Laku 168' di cabang Panjer dan di cabang Sumerta.

Dalam sehari, Yudi bisa menghabiskan 45 kilogram adonan laklak di kedua cabang setiap harinya.

Untuk 2,5 kilogram adonan laklak untuk 10 kali proses pemanggangan laklak.

Tes Kepribadian: Pilih Gambar yang Menurutmu Paling Menarik, Kesuksesanmu Bisa Diraih Lewat Hal Ini

Ini Cara Merawat Tubuh Agar Selalu Wangi dan Harum

Meski laklak yang dijualnya sama seperti laklak pada umumnya, namun cita rasa dan kualitas dari laklak tetap ia jaga.

Bahan dasar dari tepung beras dan pewarna laklak masih dari pewarna alami yaitu dari daun suji.

Tungku dari tanah liat dan kayu bakar menggunakan kayu kopi agar aroma laklak lebih khas dan mendapatkan hasil yang sempurna.

Harga untuk 1 porsi yang berisikan 5 buah laklak dibandrol dengan harga Rp 5 ribu.

Laklak 'Laku 168' sendiri telah menjadi langganan pesanan dari acara di Kantor Gubernur Bali, kantor-kantor kedinasan, atau kantor bank di bali.

Bahkan mantan wakil Gubernur Bali I Ketut Sudikerta dan keluarga menjadi pelanggan Laklak 'Laku 168'. (*)

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved