Cerita Orang Indonesia Ketika Perancis Lockdown, Tak Semudah yang Dibayangkan Perlu Persiapan Matang
Perancis salah satu negara yang ikut lockdown atau karantina sendiri untuk menekan penyebaran virus COVID-19.
Me-lockdown sebuah negara, perlu Persiapan matang, dan makan waktu yang cukup lama: koordinasi dengan semua pihak yang terkait, pertimbangan ekonomi, budget-keuangan, dan logistik agar tidak menimbulkan chaos, dan pemberontakan.
Bisa dibayangkan, bila lockdown diputuskan tanpa persiapan matang: orang berduit berbondong-bondong ke supermarket memborong semua stok makanan... sehingga si miskin tidak kebagian satu kilo beras sekali pun.
Tadi pagi, sebelum Carrefour dibuka, antrean sudah berjubel.
Yang hebat, rupanya Carrefour sudah mengantisipasi menimbun stok makanan yang bakal dibutuhkan bila lockdown terjadi.
Begitu rak-rak makanan hampir kosong, para petugas Carrefour langsung mengisinya kembali.
Sudah hampir dua minggu Carrefour "digempur" , "dijarah" oleh pelangan setianya... tapi.. . stok makanannya kagak habis-habis.
Jadi, bisa dibayangkan betapa kacaunya keadaan, bila logistik tidak dipersiapkan secara matang untuk mengantisipasi lockdown.
Mungkin akan terjadi huru-hara.
Dengan diberlakukannya lockdown, tidak ada lagi imigran Sri-Lanka yang biasa menjual bunga mawar di restoran2 di Champs Elysees.
Tidak ada lagi yang menjual marron bakar ( semacam biji nangka yang dibakar) di kaki Menara Eiffel.
Tidak ada lagi pendatang Afrika (yang fasih berbahasa Indonesia) menawarkan gantungan kunci Menara Eiffel di depan Istana Versailles.
Mereka semua kehilangan matapencahariannya karena sudah tidak ada lagi turis.
Beruntung, mereka masih mendapatkan uang tunjangan sosial untuk perumahan, untuk keluarga dan anak- anaknya.
Para dokter kulit, dokter mata, dokter gigi dilarang menerima pasien anak-anak dan orangtua di atas usia 70 tahun.
Ketika Macron memutuskan meliburkan sekolah dan universitas: Anak2 diberi perkerjaan rumah lewat internet.