Trisno: Pasar Gotong Royong dan Digitalisasi Penting Jaga Stabilitas Harga
Trisno: Pasar Gotong Royong dan Digitalisasi Penting Jaga Stabilitas Harga
Penulis: AA Seri Kusniarti | Editor: Aloisius H Manggol
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR – Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Bali, Trisno Nugroho, menyebutkan sebelumnya pada periode Galungan dan Kuningan cenderung terjadi inflasi. Hal itu didorong inflasi pada kelompok makanan.
“Komoditas penyumbang inflasi saat Galungan dan Kuningan, biasanya cabai rawit, bawang merah, cabai merah, daging ayam ras, telur ayam ras, tongkol diawetkan dan mangga,” sebutnya di Denpasar, Kamis (10/9/2020).
Sementara itu, dari kelompok non makanan adalah emas perhiasan, yang selalu berkontribusi terhadap inflasi pada saat periode Galungan dan Kuningan serta canang sari.
“Inflasi 2020 diperkirakan melandai dibandingkan 2019, disebabkan rendahnya tekanan inflasi di seluruh kelompok barang. Namun TPID akan terus menjaga tekanan inflasi agar berada di tingkat yang stabil dan mendukung perekonomian Bali,” jelasnya.
Faktor pendorong melandainya inflasi 2020, diantaranya penurunan permintaan barang tahan lama. Penurunan biaya angkutan udara, penurunan permintaan bahan makanan masyarakat dan industri.
“Perkembangan harga pada minggu pertama September 2020, masih melanjutkan deflasi. Meskipun tidak sedalam kondisi minggu IV Agustus 2020,” jelasnya. Perkembangan harga di Denpasar mengalami penurunan minus 0,11 persen.
Sementara perkembangan harga di Singaraja juga menurun minus 0,51 persen.
“Dengan kondisi tersebut, Bali pada September 2020 diperkirakan akan mengalami deflasi pada kisaran 0,0 persen-0,20 persen (mtm). Meneruskan tren Agustus 2020, yang deflasi sebesar minus 0,16 persen (mtm). Sementara itu, secara tahunan inflasi diperkirakan 0,85 persen sampai 1,05 persen (yoy).
“Perlu menjadi pertimbangan penting, ketika terus deflasi. Karena menjadi hambatan bagi petani dan pengusaha, untuk berproduksi sebab harganya turun terus kan berbahaya,” jelasnya.
Oleh karena itu, dengan pasar gotong royong dan digitalisasi serta menggencarkan penggunaan produk krama Bali. Serta kerjasama antar daerah, baik antar kabupaten maupun provinsi, dengan koperasi dan perusda menjadi offtaker barang produksi pertanian. Diharapkan mampu menggerakkan kembali perdagangan.
“Deflasi kan desentif, petani nanam cabe awal harga jual Rp 25 ribu sekarang turun Rp 10 ribu-Rp 15 ribu, kan dia ga mau nanam jadinya. Nah bahayanya nanti permintaan tinggi, harga jadi naik. Ini yang perlu dimaintenance,” tegasnya.
Dahulu hasil pertanian dibeli oleh hotel, dan restoran namun kini tutup dan tidak beroperasi. Sehingga harapannya, jika ada bantuan sosial, maka bisa diberikan untuk membeli produk masyarakat Bali. Khususnya produk pertanian masyarakat Bali.
“Kalau bisa didahulukan barang lokal, jangan sampai kebanjiran produk dari luar Bali, itu dibatasi dulu,” ujarnya.
BI dan TPID berharap, inflasi stabil antara 3+-1 persen, jangan sampai terlalu di bawah dan terlalu di atas.
“Permintaannya dibangun terus, dengan pasar gotong royong, digitalisasi, marketplace, jualan di medos, dan lainnya menjadi sesuatu yang penting karena Covid-19 ini masih ada,” jelasnya.