Ekonom Ini Ingatkan Potensi Bahaya Omnibus Law
Bhima Yudhistira, mengingatkan bahwa omnibus law cipta kerja sama sekali tidak urgen saat ini.
Penulis: AA Seri Kusniarti | Editor: Putu Dewi Adi Damayanthi
"Jika prinsip dasar tersebut diturunkan standarnya dalam UU Cipta Kerja maka sulit mengharapkan adanya investasi besar dari negara maju," kata Bhima.
Sekali lagi, kata dia, keluarnya dana asing dan nota protes dari investor Itu tanda adanya ketidakpercayaan bahwa omnibus law adalah solusi menarik investasi dan pemulihan ekonomi di tengah resesi.
Di klaster ketenagakerjaan sendiri, pengurangan hak pesangon akan menurunkan daya beli buruh, ini tidak bisa diterima oleh pekerja yang saat ini rentan di pehaka.
"Padahal buruh membutuhkan pesangon yang adil untuk mempertahankan biaya hidup disaat sulit mencari pekerjaan baru," jelasnya.
Kemudian soal kontrak terus-menerus tanpa batas akan membuat ketidakpastian kerja meningkat. Jenjang karier bagi pegawai kontrak pun, tidak pasti karena selamanya bisa di kontrak.
Praktik ini merupakan strategi pengusaha untuk menekan biaya pensiun atau pesangon dan tunjangan lain, tapi merugikan pekerja karena haknya tidak sama dengan pegawai tetap.
Bahkan dengan dicabutnya hak-hak pekerja dalam omnibus law, tidak menutup kemungkinan persepsi investor khususnya negara maju jadi negatif terhadap Indonesia.
"Investor di negara maju sangat menjunjung fair labour practice dan decent work, dimana hak-hak buruh sangat dihargai bukan sebaliknya menurunkan hak buruh berarti bertentangan dengan prinsip negara maju," ujarnya.
Kemudian pembahasan pasal per pasal idealnya dengan kajian yang mendalam.
"Setiap ditanya mana kajiannya kan pemerintah tidak bisa menunjukkan," tegasnya.
Hanya sepotong potong.
Baginya, sangat berbahaya apabila urusan ekonomi masyarakat se-Indonesia yang termuat dalam pasal-pasal omnibus law kemudian dibahas secepat kilat.
Padahal ada masalah pangan yang strategis, kemudian masalah tenaga kerja, proyek pemerintah dan lingkungan.
"Artinya kualitas regulasinya diragukan," ujarnya.
Jadi kesimpulannya, masalah saat ini yang lebih mendesak untuk memulihkan investasi dan menarik relokasi pabrik adalah penanganan pandemi, pemulihan konsumsi rumah tangga, pemberantasan korupsi, peningkatan kualitas lingkungan hidup, hingga bagaimana cara pemerintah menekan biaya logistik.