Jerinx SID Dilaporkan ke Polda Bali

Ajukan Pembelaan, Tim Hukum Minta Jerinx Dibebaskan

Tim penasihat hukum I Gede Ary Astina alias Jerinx (JRX) mengajukan pembelaan setebal 247 halaman.

Penulis: Putu Candra | Editor: Putu Dewi Adi Damayanthi
Tribun Bali/I Wayan Erwin Widyaswara
Wayan Gendo Suardana saat menemui awak media, Selasa (6/10/2020) 

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Usai I Gede Ary Astina alias Jerinx (JRX) mengajukan pembelaan (pledoi) tersendiri di persidangan Pengadilan Negeri (PN) Denpasar, Bali, Selasa (10/11/2020).

Giliran tim penasihat hukumnya mengajukan pembelaan setebal 247 halaman.

Dihadapan majelis hakim dan tim jaksa, nota pembelaan dibacakan secara bergantian oleh tim hukum yang dikomandoi oleh I Wayan "Gendo" Suardana.

Pada intinya, tim hukum menyatakan tuntutan jaksa tidak terpenuhi secara sah dan meyakinkan.

Baca juga: Serahkan Bus Sekolah, Agung Toyota Mendukung Program Pendidikan di Bali

Baca juga: KPK Segera Tahan 2 Kepala Daerah, Dari Daerah Saja Mana ya?

Baca juga: 5 Zodiak Wanita yang Jadi Idaman Pria, Aries Tak Mudah Ditaklukkan, Aquarius Sangat Pengertian

Untuk itu mereka meminta agar majelis hakim membebaskan Jerinx dari segala tuntutan hukum. 

Ditemui usai sidang, Gendo pun menjelaskan isi dari nota pembelaan yang telah dibacakan di muka persidangan.

Dikatakannya, dalam nota pembelaan setebal 247 halaman mengupas pelbagai sisi.

Mulai dari fakta persidangan, keterangan saksi, para ahli, bukti surat dan keterangan terdakwa yang dimana berkesesuaian dan menjadi fakta hukum.

"Pertama kami menyatakan, surat tuntutan jaksa tidak dapat diterima, karena tidak jelas siapa korbannya. Dalam surat dakwaan jaksa, yang dinyatakan korban adalah IDI Bali. Sementara itu bertentangan dengan perbuatan terdakwa yang sebenarnya me mension PB IDI. Lalu IDI Bali yang tampil mengklaim sebagai korban. Ini sebetulnya tidak mempunyai kualitas sebagai korban, karena ini bukan entitas hukum. Entitas hukumnya ada di IDI, dalam hal ini PB IDI," jelasnya. 

Namun dalam perkara ini dikatakan Gendo, PB IDI tidak pernah dimintai keterangan.

Sehingga proses hukumnya menjadi cacat, karena korban tidak pernah dihadirkan.

"Kemudian surat tuntutan juga menjadi sumir, karena menyatakan ada kerugian materiil dan immateriil yang juga tidak pernah terbukti," lanjutnya. 

Lalu dari unsur-unsur pembuktian Pasal 28 ayat (2) junto Pasal 45 a ayat (2) UU ITE junto Pasal 64 ke-1 KUHP.

Ini menurutnya juga tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, karena jaksa telah salah menguraikan unsur.

Gendo menjelaskan, unsur dari Pasal 28 ayat (2) junto Pasal 45 a ayat (2) UU ITE sebetulnya unsur setiap orang.

Tapi jaksa menguraikan unsur barang siapa.

"Sehingga tidak jelas sebenarnya pasal apa yang sedang dituntut oleh jaksa," cetusnya. 

Unsur sengaja dan tanpa hak, itu juga menurut tim hukum tidak terpenuhi secara sah dan meyakinkan.

Kata Gendo, untuk membedakan ujaran kebencian dan ujaran biasa, walaupun ujaran biasa berkobar, penuh semangat, keras, itu juga tidak bisa dikualifikasikan sebagai ujaran kebencian.

Karena yang harus dinilai adalah niat.

"Untuk menguji niat itu, maka komponen bahasanya adalah komponen mental yang harus diuji. Kemudian apakah terdakwa juga melakukan advokasi kebencian dalam ujarannya," terangnya.

Lebih lanjut pihaknya menyatakan, itu tidak terbukti, lantaran postingan Jerinx tanggal 13 Juni 2020 itu adalah fakta.

"Secara fakta hukum, IDI memang kacung WHO secara konseptual. Dalam kode etiknya juga menyatakan tunduk pada WHO. Kemudian dalam menjalani SOP rapid test ini, sudah diakui bahwa anggota IDI, dokter-dokter itu menjalankan SOP rapid test yang bersumber dari WHO yang kemudian mengabaikan kode etik. Sehingga kode etik yang diabaikan untuk menangani pasien sebagai prioritas itu diabaikan karena prosedur rapid test, itu menunjukan bahwa mereka adalah kacung dari WHO. Itu adalah fakta," tegasnya.

"Rapid test yang ngawur dan memaksa juga fakta yang sudah kami uraikan tadi. Kemudian kalimat "menyerang" itu adalah mempertanyakan terkait sikap IDI sebagai agent of change sebagaimana dalam AD/ARTnya terhadap advokasi kebijakan. Oleh karena itu sebuah fakta, maka itu tidak bisa kemudian dinyatakan sebagai ujaran kebencian," tegas Gendo kembali. 

Menurutnya, menyampaikan fakta itu adalah kritik.

Jika niatnya mengkritis, maka sangat berbeda dengan ujaran kebencian.

Termasuk juga yang ditegaskan dalam Konvenan Internasional Hak Sipil dan Politik yang memberikan ukuran ujaran kebencian.

"Karena dalam pasal 28 ayat (2) UU ITE tidak jelas unsur kebencian itu apa. Sehingga dia mengacunya pada Konvenan Internasional Hak Sipil dan Politik yang sudah diadopsi atau diratifikasi oleh Indonesia menjadi UU No.12 tahun 2005," papar Gendo

Oleh karena itu pihaknya menyatakan, tidak terpenuhi unsur niat.

Ketika unsur niat tidak terpenuhi, unsur sengaja dan tanpa hak tidak terpenuhi, otomatis kemudian informasi yang disampaikan adalah fakta. 

"Dan latar belakangnya tidak ada advokasi kebencian, Jerinx mempunyai sikap anti rasis. Maka itu tidak bisa dikualifikasi sebagai penyebarkan ujaran kebencian. Pun sebagai tindak berlanjut dalam Pasal 64 ke-1 KUHP itu juga tidak bisa. Karena antara postingan tanggal 13 Juni 2020 dan postingan tanggal 15 Juni 2020 tidak berhubungan," jelasnya. 

Dalam pembelaannya, Gendo juga mengatakan, melakukan "gugatan" kepada jaksa, karena tidak seimbang dalam memberikan pertimbangan memberatkan dan meringankan.

"Hal-hal memberatkan ditulis sedemikian rupa. Padahal itu ada dasarnya. Pertama adalah walkout, itu menegakkan KUHP dan terdakwa walkout sudah disetujui majelis hakim. Tapi kalau itu dipakai untuk memberatkan, bagaimana logikanya," tanyanya. 

Kemudian Jerinx dianggap meresahkan masyarakat, melukai seluruh dokter yang menangani pandemi.

Menurut Gendo itu adalah asumsi, karena tidak ada survei yang ditunjukan dan tidak ada satu data yang bisa menunjukan siapa yang resah. 

"Apa alat ukurnya. Seluruh dokter dinyatakan terluka. Apakah semua terluka. Itu juga sudah dibuktikan, dr. Tirta berkali-kali menyatakan tidak tersinggung," sebutnya. 

Sedangkan hal meringankan itu hanya ada tiga yang dicantumkan.

"Padahal kegiatan sosial seorang Jerinx yang dinyatakan dituntut itu hal yang meringankan awalnya, tiba-tiba tidak dimasukkan dalam hal meringankan. Jadi kami melihat bahwa konstruksinya, hal-hal yang memberatkan ada tiga, hal meringankan tiga. Sehingga itu kemudian melegitimasi jaksa menuntut pidana tiga tahun, karena ancaman hukumannya kan enam tahun. diambil tiga, tiga kan seimbang, jadi diambil 50 persennya. Ya tiga tahun. Nah ini pertimbangan apa," ucapnya dengan nada bertanya. 

"Padahal banyak hal-hal yang meringankan bisa dimasukan. Kami justru khawatir, kalau memasukkan hal meringankan lebih banyak, tuntutan tiga tahun jadi tidak masuk akal," imbuh Gendo

Gendo pun berkesimpulan, bahwa perbuatan Jerinx bukan lah ujaran kebencian, tidak digunakan menyerang merendahkan martabat IDI, tapi adalah sebuah kritis.

"Sehingga unsur Pasal 28 ayat (2) junto 45 a UU ITE junto Pasal 64 ke-1 KUHP tidak terpenuhi secara sah dan meyakinkan. Sehingga kami meminta agar Jerinx dibebaskan dari segala tuntutan hukum," tegasnya. 

Dengan telah dibacakan nota pembelaan baik dari terdakwa dan tim penasihat hukumnya, sidang akan kembali dilanjutkan, Kamis (12/11/2020).

Sidang akan digelar dengan agenda tanggapan tim jaksa terhadap nota pembelaan terdakwa beserta tim penasihat hukumnya. (*).

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved