Pura di Bali

Wisata Religi Melukat di Pura Campuhan Windhu Segara Denpasar, Ada Berbagai Pelinggih dari Nusantara

Pura Campuhan Windhu Segara, Denpasar, Bali, menjadi ikon baru wisata religi atau spiritual di Kota Denpasar

Penulis: AA Seri Kusniarti | Editor: Irma Budiarti
Tribun Bali/AA Seri Kusniarti
Pura Campuhan Windhu Segara, Denpasar, Bali. 

Laporan Wartawan Tribun Bali, A A Seri Kusniarti

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR – Pura Campuhan Windhu Segara, Denpasar, Bali, menjadi ikon baru wisata religi atau spiritual di Kota Denpasar.

Sejak berdirinya tahun 2005, pura ini banyak dikunjungi umat asli Bali, bahkan hingga dari Jawa dan seluruh Indonesia.

Mereka datang untuk melukat, melakukan pembersihan diri lahir dan batin.

Jro Mangku Ketut Maliarsa, satu di antara pemangku di pura menjelaskan, pura yang terletak di Pantai Padang Galak, wilayah Kesiman, Denpasar Timur ini, telah mendunia.

Sebab turis pun kerap datang ke pura ini.

Berawal dari kisah Maha Guru Aiteria Narayana, yang sembuh dari penyakit ginjal dan mendapatkan pawisik harus membangun pura di sana.

Akhirnya pura di ujung utara Pantai Padang Galak ini, kian banyak didatangi pamedek.

Untuk itu, demi melayani umat pura ini setiap hari bisa didatangi, karena ada pemangku yang standby di lokasi.

“Dahulu saat masih welaka, Maha Guru Aiteria Narayana bernama I Gede Alit Adnyana, dan sempat sakit dengan diagnosa penyakit ginjal. Dokter pun angkat tangan, karena sudah tidak bisa mengobati,” jelasnya mengisahkan, kepada Tribun Bali, Rabu (11/11/2020).

Kemudian, pergilah I Gede Alit Adnyana ke Pantai Padang Galak.

Seolah-olah, ada yang memberitahunya dan menunjukkan agar beliau pergi ke Padang Galak.

Dengan dipapah dan digotong, badan I Gede Alit Adnyana yang kesakitan, kemudian dikubur di pasir pantai yang hangat.

Entah itu, sebuah proses medis secara niskala, akhirnya I Gede Alit Adnyana, perlahan sembuh.

Ia pun membangun pura sedikit demi sedikit, seperti pawisik yang didapatkannya.

Ia awalnya bermimpi menghaturkan pejati.

Lalu didatangi oleh seorang perempuan, ditegur kenapa menghaturkan pejati.

Pejati dengan sesari Rp 2.000, kemudian diambil oleh perempuan itu.

Sesari kemudian dibagi, Rp 1.000 diberikan kepada maha guru dan Rp 1.000 lagi dimasukkan ke dalam brankas yang berisi banyak uang.

Baca juga: Pawisik yang Menyembuhkan I Gede Alit Adnyana Hingga Membangun Pura Campuhan Windhu Segara Denpasar

Setelah itu, maha guru membangun turus lumbung, atau sanggah yang sifatnya sementara untuk melaksanakan pawisik.

Setelah pura jadi, kesehatannya kian membaik.

Yang awalnya tidak bisa berjalan, kini bisa berjalan.

Bahkan Tribun Bali sempat melihatnya di dalam pura, sedang membantu tukang bangunan.

Sebelum menjadi maha guru, ia diekajati menjadi pemangku pauman di Kesiman, dengan nama Jro Mangku I Gede Alit Adnyana.

“Lalu di pura ini, banyak yang datang menghaturkan sembah bakti. Bukan saja dari agama Hindu, namun dari berbagai agama dan kalangan. Bahkan ketika belum ada pura, baru turus lumbung saja,” jelas pemangku asli Bon Dalem ini.

Setelah itu, maha guru melakukan wanaprasta ke berbagai gunung, pura, dan hutan.

Berbulan-bulan, akhirnya ia mendapatkan anugerah menjadi seorang sulinggih.

Sampai saat ini, maha guru yang telah berusia lebih dari 65 tahun itu, masih makemit di pura.

Hingga pura ini, dari turus lumbung memiliki bangunan lengkap dari nista mandala, madya mandala, hingga utama mandala.

“Banyak yang datang tangkil, melukat meruwat diri untuk mencapai kebersihan lahir dan batin serta hening. Kedua menghaturkan sembah bhakti di penataran. Itulah konsep mengapa pura ini didirikan,” jelasnya.

Pura ini pun telah diakui oleh Pemerintah Provinsi Bali, menjadi tempat suci yang universal dan bisa didatangi siapapun dari kalangan manapun.

Tanah yang digunakan untuk mendirikan pura, adalah tanah timbul, atau tanah urug di pinggir pantai.

Atas bantuan umat, pura ini terus diperbaiki dan pelinggihnya juga kian dilengkapi.

PHDI Bali pun ikut menyaksikan saat pura ini diakui sebagai pura universal di Bali.

Sampai saat ini, jumlah pemangku di pura sebanyak 10-12 orang dan datang dari berbagai penjuru Pulau Dewata.

“Artinya, siapapun yang datang ngayah dipersilakan. Tapi tetap ada mangku sehari-hari yang menetap untuk ngayah di sana. Ada mangku lanang dan istri,” katanya.

Ada pemangku yang bertugas di beji, ada di linggih Ratu Niang Sakti di barat.

Ada pemangku bertugas di penataran.

“Kemudian kadang-kadang saya ditugaskan untuk ngelentikan tilaka atau basma antara alis (siwaduara). Simbol Ida Sang Hyang Widhi Wasa supaya melekat di sini,” katanya.

Baca juga: Pura Dalem Pingit, Saksi Sejarah Pertama Kali Gajah Mada Menginjak Pulau Bali

Pura ini memiliki pelinggih candi, dengan dua naga yang melilitnya, sebagai simbol Mandara Giri (Gunung Mandara).

Kisah ketika dua naga, yakni Ananta Boga dan Naga Basuki membelit gunung, sebagai tali pengikat.

Agar gunung bisa diputar oleh para dewa dan raksasa.

Para dewa memegang ekor naga, sedangkan para raksasa memegang kepala naga.

Awatara Wisnu, sebagai akupa atau kura-kura besar untuk menopang Mandara Giri agar tidak tenggelam.

Sedangkan Dewa Indra berada di puncak gunung agar Mandara Giri tidak rebah.

Para dewa dan raksasa ini, mencari tirta amerta atau air kehidupan agar dapat hidup abadi.

Inilah yang menjadi konsep dari tempat penglukatan ini.

“Pamedek datang menghaturkan sembah bhakti sambil melukat, dan mendapatkan tirta kehidupan tirta amerta. Mendapatkan kesejahteraan, kesehatan, kerahayuan, kemudian sembuh dan sehat,” jelasnya.

Hal tersebut, karena adanya campuhan di pura ini.

Yang dalam Weda, disebutkan sebagai tempat suci apabila air laut bertemu dengan air sungai.

“Sungai Ayung itu kan hulunya di Bangli. Ini yang disebut dengan campuhan, dan di dalam Weda campuhan adalah air suci,” jelasnya.

Sehingga, di campuhan bukan hanya tempat melukat.

Tetapi juga tempat ngangkit, ngulapin, nganyut, termasuk melasti mesucian sebagai pembersihan.

“Itulah sebabnya fungsi pura ini kompleks. Salah satunya penglukatan, pembersihan untuk mendapatkan kebersihan lahir dan batin,” jelasnya.

Uniknya lagi, banyak yang datang dari Sunda wiwitan, karena di pura ini didirikan gedong Siliwangi.

Arca Prabu Siliwangi didirikan di sana.

“Beliau kan prabu Padjajaran Jawa Barat. Kemudian beliau berada di sana memberikan pengayoman kepada umat,” katanya.

Ada pula para bhatara-bhatari dari Pura Jagatkartta Bogor.

Sebagai tempat pemujaan ida bhatara-bhatari di Gunung Salak.

Banyak pamedek dari Jawa juga datang, karena adanya gedong Ratu Pantai Selatan, atau di Bali disebut Ratu Ayu Manik Segara.

“Itu adalah ibu yang menganugerahkan rezeki, kesejahetraan, kesuburan, dan unsur pengobatan. Mengapa hijau sebagai lambang kesuburan, kesejahteraan, dan pemberian rezeki,” jelasnya.

Odalan pura ini, jatuh pada Januari, dan biasanya berbagai umat datang nangkil.

Pejabat hingga masyarakat biasa pun datang ke pura ini.

Bahkan Jro Mangku Ketut Maliarsa, sempat menyambut petinggi dari Kementerian Pariwisata.

Yang ingin melihat langsung tempat wisata spiritual di Pura Campuhan Windhu Segara.

Pelinggih dari berbagai nusantara dan dunia pun ada, seperti pelinggih Ratu Gede Dalem Ped, Dewa Brahma, Wisnu, dan Siwa.

Kemudian pelinggih Dewi Gangga, Rambut Sedana, termasuk Dewi Ku Am Im dan masih banyak lagi.

“Jika ingin melukat, datang saja setiap hari ada pemangku, asal jangan ketika piodalan karena sibuk,” imbuhnya.

(*)

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved