Wiki Bali
WIKI BALI - Pura Campuhan Windhu Segara Tidak Menghaturkan Daging Sebagai Upakara, Begini Alasannya
Sisi unik Pura Campuhan Windhu Segara lainnya, adalah pura ini tidak menghaturkan daging hewan sebagai upakara dalam bebantenannya.
Penulis: Anak Agung Seri Kusniarti | Editor: Alfonsius Alfianus Nggubhu
Laporan Wartawan Tribun Bali, A A Seri Kusniarti
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR – Bali tidak pernah kekurangan tempat-tempat wisata religi maupun wisata alam.
Setiap tahunnya selalu muncul tempat-tempat wisata baru yang dikembangkan oleh pemerintah daerah di Bali.
Salah satu tempat wisata religi yang baru dikembangkan adalah Pura Campuhan Windhu Segara, Denpasar.
Yuk kenal lebih dekta kunikan pura yang terletak di tengah Kota Denpasar ini.
Baca juga: WIKI BALI - Mengenal Lebih Dekat Pura Campuhan Windhu Segara Denpasar, Wisata Religi Melukat
Baca juga: WIKI BALI - Gung Mas Pemayun Berhasil Sandang Puteri Cilik Indonesia Persahabatan 2020
Baca juga: WIKI BALI - Mengintip Jejak Kerajaan Majapahit di Bali
Baca juga: WIKI BALI - Kisah Penguasa Kematian di Nusa Penida, Ratu Gede Mas Mecaling Ped
Sisi unik Pura Campuhan Windhu Segara lainnya, adalah pura ini tidak menghaturkan daging hewan sebagai upakara dalam bebantenannya.
Jro Mangku Ketut Maliarsa, sebagai satu diantara pemangku di sana membenarkan hal itu.
“Biasanya saat piodalan di pura, maka akan menghaturkan bebantenan bebangkit hingga pregembal,” sebutnya kepada Tribun Bali, Kamis (12/11/2020).
Namun uniknya, pura ini tidak membuat bebantenan dengan sarana daging hewan. Karena konsepnya adalah Ahimsa Paro Dharma.
“Artinya Tuhan Yang Maha Kuasa akan memberikan karunia yang maha kuasa, jika tanpa ada pemakaian daging,” katanya.
Akan tetapi apabila ada pamedek, yang tangkil dan menghaturkan daging ayam di bantennya itu tidak dipermasalahkan.
Tetapi secara internal, di pura tidak membuat sesajen bebantenan dengan menggunakan daging.

Hanya memakai kacang-saur, bahkan ikan gerang pun tidak.
Banten caru yang kerap menggunakan daging, juga hanya menggunakan segehan agung.
“Saat Siwaratri, biasanya di pura langsung menyolahang calon arang. Dan ketika itu tidak ada penyamblehan atau pemotongan hewan,” tegasnya.
Hanya mengandalkan cecaruan segehan agung saja.
“Dan memang dari awal piodalan di pura, tidak pernah terjadi sesuatu karena tidak menghaturkan daging ini, tidak ngrebeda lah,” imbuh Jro mangku. Lanjutnya, calon arang tahun lalu ada 7 bangke matah.
Secara struktural bangunan pura, menurun dari nista, madya, hingga utama mandala.
Baca juga: Arti Mimpi Melihat Orang Terkasih Tewas Dalam Kecelakaan, Hati-hati Jangan Anggap Sepele
Baca juga: Ramalan Zodiak Besok 15 November 2020, Pisces Harus Berhati-hati, Keberuntungan di Pihak Gemini
Baca juga: Terkait RUU Larangan Minuman Beralkohol, Koster: Nggak Akan Jadi Itu
Padahal sesuai konsep Siwa Sidanta, harusnya konsep pura makin naik.
“Ini mengapa turun, karena itu adalah menggunakan konsep segara. Kan laut letaknya di bawah sebagai simbol ibu. Sedangkan gunung di atas, sebagai simbol bapak. Giri kelawan gunung, nyegara gunung adalah konsep kesatuan dalam proses kehidupan,” imbuhnya.
Namun yang ia sayangkan, adalah masih rusaknya jalan menuju ke pura ini.
Terlihat dari banyaknya lubang, kerikil, dan jalan dari tanah liat yang sangat licin saat hujan tiba atau air pasang.
“Kami di pura sudah mengajukan proposal ke gubernur dan pemda tingkat dua di Denpasar. Namun sampai sekarang belum ditindaklanjuti,” tegasnya.
Ia menjelaskan, pura ini telah menjadi pura universal yang didatangi dari berbagai pamedek bahkan turis asing. Semoga aspirasinya ke depan bisa didengarkan. (*)