Serba Serbi

Tidak Mudah, Ini Syarat dan Tahapan Menjadi Sulinggih di Bali

Sebab seorang sulinggih telah mendapatkan kesucian lahir batin,dalam tingkatan dwijati (lahir kembali dua kali).

Penulis: AA Seri Kusniarti | Editor: Wema Satya Dinata
Tribun Bali/AA Seri Kusniarti
Ida Pedanda Gde Keniten 

Laporan Wartawan Tribun Bali, A A Seri Kusniarti

TRIBUN-BALI.COM, TABANAN – Menjadi sulinggih di Bali tidaklah mudah.

Sulinggih adalah orang suci yang telah melalui proses madiksa.

Berasal dari dua kata, Su berarti utama atau mulia.

Sedangkan Linggih berarti kedudukan.

Baca juga: Kejari Denpasar Peduli Lembata, Donasi untuk Pengungsi Erupsi Gunung Ile Lewotolok

Baca juga: Bale Bali Saka Kutus Roboh Diterjang Angin Kencang dan Hujan di Tabanan, Kerugian Sekitar Rp 80 Juta

Baca juga: Rai Mantra Terima E-Sports Indonesia Denpasar, Harapkan Lahir Entrepreneur Pengembang Game E-Sports

 Sehingga sulinggih, dapat diartikan adalah seseorang suci yang mendapat kedudukan yang utama atau mulia di masyarakat.

Sebab seorang sulinggih telah mendapatkan kesucian lahir batin,dalam tingkatan dwijati (lahir kembali dua kali).

Maksudnya, lahir pertama dari rahim seorang ibu, sedangkan lahir kedua dari Weda.

Lahir sebagai manusia suci tanpa cacat dan cela.

Hal ini dibenarkan Ida Pedanda Gde Keniten, dari Gria Gede Jumpung, Banjar Lebah, Timpag, Kerambitan, Tabanan.

Beliau menjelaskan, bahwa menjadi sulinggih adalah bagian dari bhiksuka dalam Catur Asrama di ajaran agama Hindu.

“Sesuai arahan Catur Asrama, kewajiban umat Hindu membersihkan diri secara sekala, tetapi dengan aturan ritual dalam bentuk niskala. Jadi manusia suci itu berbentuk Siwa dalam wujud nyata. Nah itu namanya madwijati, atau hidup untuk kedua kalinya,” sebut Ida pedanda.

Beliau menyebutkan, jika seseorang tidak bisa madwijati sesama hidupnya. Maka demi melengkapi Catur Asrama, maka ketika seseorang meninggal atau ngaben akan didwijati dalam prosesi pengaskaran.

Sebab, kata beliau, madwijati adalah hak semua umat dan golongan tanpa terkecuali.

Sepanjang madwijati itu melalui proses yang baik dan benar sesuai dengan ajaran agama Hindu dan kitab suci Weda.

Baca juga: Polisi Ungkap Isi Voice Note Laskar Khusus FPI saat Detik-detik Kejadian di Tol Cikampek

Baca juga: Panglima TNI Bertemu Menhan Amerika, Bahas Kerja Sama Tangkal Ancaman Biologi

Baca juga: Kepala Lab LIPI Tegaskan Pemanfaatan Vaksin Sinovac Tunggu Hasil Uji Klinis Tahap 3

 “Hanya saja, setelah madwijati di Bali memang beda-beda sebutannya. Ada yang disebut ida pedanda, Ida sri empu, ida bhagawan, rsi agung, dan lain sebagainya,” sebut beliau.

Selama proses ditempuh, sesuai awig-awig maka seseorang yang telah madwijati bisa disebut sulinggih.

Lanjut beliau, seorang calon bhiksuka atau calon sulinggih diharuskan mencari calon guru nabe.

 Sementara seorang calon guru nabe, tidak akan mudah menerima seorang calon sulinggih.

Guru nabe akan melihat bibit, bebet, bobot, dari calon sulinggih ini. Apakah ia layak menjadi sulinggih atau tidak.

Namun jika dirasa berhak, dan memiliki potensi menjadi calon sulinggih maka akan dicarikan hari baik (duasa) secara niskala di pamerajan nabe.

Prosesnya pun masih panjang, karena menjadi sulinggih tidak semudah membalikkan telapak tangan.

 Setelah adanya kesepakatan, calon sulinggih tangkil ke calon nabe untuk menentukan hari baik madiksa.

 Sebelum madiksa, akan dilakukan pemeriksaan keabsahan surat dari calon sulinggih.

Diantaranya, surat kelakukan baik, surat keterangan sehat lahir batin, surat kesiapan dari tiga guru yakni guru nabe, guru watra, dan guru saksi.

Semua guru ini harus tanda tangan surat kesiapan itu.

“Itu namanya diksa pariksa, dan setelah proses itu selesai ada istilah mejaruman. Sebelum itu ada pegat sembah. Selesai pegat sembah, pada hari itu juga malam harinya ada prosesi amati raga,”jelas beliau.

Upacara amati raga ini, seolah-olah seorang calon sulinggih telah pralina (meninggal dunia) dan itu dilakukan oleh calon nabe.

 Setelah meninggal di alam nyata, besok paginya di-urip (diberi kehidupan) kembali oleh nabe.

“Nah pagi itu setelah amati raga, calon sulinggih kesiram oleh silunggih yang senior,” kata Ida pedanda.

Kemudian setelah mesiram, lalu berhias layaknya seorang sulinggih baik lanang dan istri.

Selesai itu, calon nabe mapuja di merajan calon sulinggih.

Puput (selesai) itu, sulinggih yang baru menghadap ke merajan dan sembahyang.

Dilanjutkan dengan metapak ibu jari kiri, dan dilanjutkan mejaya-jaya.

“Jadi pada saat pebaktian ini ada namanya amari aran, berubah dari nama welaka menjadi nama sulinggih. Semuanya berubah, pakaian berubah, nama diubah, dan banyak pantangan lainnya. Termasuk pantangan tidak keluar dan makan sembarangan.

“Setelah itu ada ngelinggihang tiga puja,” imbuh beliau.

Dengan berbagai rentetan prosesi di dalamnya. 

Mengenai  batasan umur yang pantas dan layak, menjadi seorang sulinggih adalah antara 40-60 tahun.

 Ida pedanda mengatakan, idealnya adalah 50 tahun seperti di Gria Gede Jumpung, Banjar Lebah, Timpag, Kerambitan, Tabanan yang tidak pernah putus dan selalu ada sulinggih di sana.

“Intinya asal mumpuni, dan mampu melepas duniawi, serta memenuhi syarat tentu bisa madwijati,” tegas beliau.

Sebab seorang sulinggih akan menjadi penuntun umat, dan harus memberikan contoh yang baik dan benar.

 Tidak lagi terikat oleh nafsu duniawi. Untuk itu usia 50 tahun ke atas, dirasa paling cocok dan pantas menjadi sulinggih.

“Namun jika di suatu tempat, ada banyak umat (masyarakat) dan untuk mendatangkan sulinggih jaraknya cukup jauh. Maka dibenarkan seseorang yang pantas dan berusia 40 tahun bisa diangkat menjadi sulinggih,” sebut beliau.

Hal ini pun harus disetujui parisadha setempat dan calon sulinggih itu dapat dipertanggungjawabkan ke depannya.

 “Semua lapisan masyarakat bisa menjadi sulinggih, selama proses yang ditempuh baik dan benar, maka seseorang bisa madwijati,” tegas beliau kembali. (*)

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved