Ngopi Santai

Anda Bikin Resolusi Akhir Tahun? Perhatikan Tiga Hal Ini

Apakah anda sedang membuat resolusi akhir tahun, perhatikan tiga hal ini

Penulis: Sunarko | Editor: Irma Budiarti
Pixabay
Ilustrasi tentang resolusi awal tahun. 

TRIBUN-BALI.COM - Setiap akhir tahun, ada kebiasaan dari sebagian orang untuk membuat resolusi.

Misal di akhir tahun 2020 seseorang membuat resolusi untuk kehidupannya di tahun 2021.

Tidak hanya individu, organisasi (seperti perusahaan) bahkan wajib hukumnya untuk menyusun target atau goal tahun depan.

Itu tertuang dalam rencana bisnisnya (business plan), yang biasanya berisi inisiatif-inisiatif yang akan dilakukan, apa sasarannya dan apa indikator pencapaiannya.

Secara sederhana, resolusi berarti tekad yang kuat atau ketetapan hati.

Baca juga: Malam Gulita Jiwa

Baca juga: Perubahan: Pilih Cara Radikal Atau Incremental?

KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) mendefinisikan resolusi, salah-satunya adalah “pernyataan tertulis, biasanya berisi tuntutan (atau keinginan) tentang suatu hal”.

Pada umumnya, resolusi berisi keinginan, target atau goal (tujuan) yang ingin dicapai.

Bisa dikatakan, membuat resolusi tak ubahnya seperti goal-setting atau membuat tujuan.

Dalam konteks ini, gol selama setahun ke depan.

Dalam praktik, meski awalnya diniatkan untuk diwujudkan atau dijalani sepanjang tahun, tak sedikit resolusi itu hanya berumur pendek.

Ada yang menyebutnya secara kelakar sebagai “resolusi semangat 45”.

Maksudnya, semangat untuk mengikuti resolusi itu hanya bertahan 4-5 hari atau paling banter 45 hari, dan selebihnya kembali ke kebiasaan lama alias gagal total.

Mirip resolusi yang dihasilkan PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa).

Bunyi resolusinya “mantul” (mantap betul), namun pelaksanaannya acapkali mandul. 

Mengapa resolusi gagal diwujudkan, bahkan bagi sebagian orang hanya bertahan seumur jagung?

Baca juga: Belajarlah Untuk Bertambah Bodoh

Baca juga: Ketika Duri-duri Tak Lagi Terasa

Ada yang menyebut, kegagalan mewujudkan resolusi, antara lain, karena seseorang mengaburkan atau mencampuraduk antara target jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang.

Juga antara hal-hal yang bersifat taktikal-operasional dengan yang strategis-visioner.

Target jangka pendek memang berbeda dengan target jangka panjang.

Namun, diingatkan bahwa target jangka pendek harus merupakan satu-kesatuan atau dalam satu rangkaian dengan target jangka panjang yang berjangkauan jauh.

Target jangka panjang itu ibarat mercusuar.

Dia menjulang tinggi dan terang, yang kelap-kelip lampunya bisa menjadi panduan tatkala seseorang disibukkan atau tercebur tenggelam ke dalam  urusan taktikal-operasional.

Tentang goal-setting atau menetapkan tujuan dan target jangka panjang, dalam bukunya The Code of The Extraodinary Mind, Vishen Lakhiani menjelaskan mengenai apa yang disebutnya sebagai means-goal dan end-goal.

Pendiri dan CEO Mindvalley ini (salah-satu perusahaan pengembangan diri internasional yang terkemuka) mengungkapkan, kebanyakan orang menetapkan tujuan hidupnya bukan berangkat dari kesadaran atau suara hati mereka yang terdalam.

Mereka menetapkan target dan tujuan hidupnya berdasarkan/mengikuti standar dan ukuran umum yang berlaku di masyarakat.

Misalnya, saya harus dapat rangking 1 di kelas (karena dalam standar umum, rangking 1 merupakan pertanda kesuksesan); saya harus punya 3 mobil pribadi di garasi (karena miliki lebih dari 1 mobil adalah simbol kesuksesan di masyarakat); saya harus meraih gelar akademik lebih tinggi (karena deretan gelar akademik adalah ukuran prestise diri di mata publik); atau saya harus pergi ke destinasi wisata luar negeri yang sedang trending di medsos (karena kalau berfoto di sana dan diposting di akun medsos akan dapat like & comment banyak, dan itu menaikkan prestise saya) dan lain-lain.

Baca juga: Vaksin Stres

Baca juga: Menyamar sebagai Keluarga Nabunome

Target-target tersebut di atas oke-oke saja.

Akan tetapi, apabila target itu tidak berangkat dari kesadaran mengenai makna terdalam tujuan itu bagi diri orang yang bersangkutan, maka sesungguhnya itu adalah semu (means-goal).

Means-goal biasanya adalah `tujuan hidup` yang diinfuskan dari luar, dan jenis tujuan hidup seperti inilah yang paling banyak dijalani orang-orang.

Means-goal ini tidak orisinal, tidak berangkat dari suara hati terdalam, tapi dibentuk atau didikte oleh apa yang disebut Lakhiani sebagai culture space.

Culture space itu berisi standar, ukuran dan norma-norma yang saya sebut sebagai Brules (singkatan dari bullshit rules). Kita mesti retas aneka Brules itu untuk menjadi diri kita sendiri dan mencapai sukses,” tulis Lakhiani. 

Culture space itu bisa berupa kebiasaan dalam keluarga, lingkungan pergaulan, media, tren di medsos atau internet, dan lain-lain.

Ia merupakan “penilaian umum” yang berlaku di masyarakat, dan biasanya berat sebelah, yakni lebih banyak dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat materi dan fisikal.

Resolusi yang berupa means-goal, kata Lakhiani, pada dasarnya adalah program-program dari luar diri, dan karena itu sesungguhnya tak bisa disebut sebagai resolusi pribadi.

Oleh karenanya, kemungkinan gagalnya besar.   

Lakhiani memperingatkan, jangan terdistraksi dan terkecoh oleh means-goal, tapi carilah end-goal, dan kemudian fokus untuk mencapainya.

Baca juga: Senyumlah Semanis Madu

Baca juga: Takut dan Cinta Tak Mungkin Hidup Bersama

Apa itu end-goal?

Menurut Lakhiani, tujuan hidup merupakan end-goal jika ia mengandung tiga hal penting berikut ini bagi seseorang:

1) Meaningful experiences, yakni tujuan itu memberi pengalaman hidup yang bermakna

2) Growth, yaitu jika tujuan itu membuat anda bertumbuh positif

3) Contribution, yang berarti bahwa tujuan itu membuat dunia menjadi lebih baik melalui sumbangsih atau kontribusi anda

Jadi, apakah anda masih menyematkan resolusi anda pada culture space ataukah benar-benar mendengarkan dan berangkat dari suara hati yang terdalam?

Bagaimana pendapat(an) Anda?

(*)

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved