Ngopi Santai
Vaksin Stres
kondisi yang stressful, jika dimaknai secara positif, tidak hanya memunculkan adrenalin, yakni hormon yang membuat jantung berdegup lebih kencang
Stres gara-gara ingin menghindari stres, itu mungkin terdengar konyol bukan? Tetapi, demikianlah yang pernah saya alami.
Awalnya adalah karena membaca cukup banyak buku psikologi dan mengikuti isu-isu yang terkait dengan kesehatan mental, dan di sana saya menemukan satu kata yang sangat banyak disebut, yakni stres.
Seperti mungkin dialami oleh banyak orang lain, saya pun menyimpulkan bahwa stres itu negatif, buruk, jelek dan biang keladi atau sumbernya berbagai penyakit.
“Banyak penyakit bersumber dari stres atau tekanan batin,” demikian yang banyak ditulis.
Bahkan seorang pakar mengungkapkan, lebih 90 persen penyakit disebabkan oleh pikiran (yang stres).
Singkat kata, saya jadi memiliki persepsi negatif terhadap stres justru setelah terpapar banyak bacaan tentang stres dan dampaknya. Nah, rentetannya, saya pun berusaha menghindari stres.
Baca juga: Takut dan Cinta Tak Mungkin Hidup Bersama
Baca juga: Senyumlah Semanis Madu
Cara berlogika saya saat itu simpel saja: karena stres identik dengan masalah, maka supaya tidak stres, saya berusaha untuk menghindari masalah.
Jadi, setiap ada masalah, saya berusaha untuk menghindari atau menjauh darinya. “Bukankah stres itu buruk, sehingga menghindari keburukan adalah pilihan yang tepat?” begitu pikir saya.
Atau kalau tidak bisa menghindar, saya bernafsu untuk secepatnya menyelesaikan masalah, karena saya tidak ingin stres akibat masalah itu. Akan tetapi, semakin saya ngotot untuk cepat-cepat menyelesaikan masalah, semakin bertahan masalah itu, dan saya pun semakin stres.
Sesungguhnya, saya membaca pula tentang pentingnya penerimaan (acceptance) dalam proses menyelesaikan masalah. Kira-kira, inti ajaran acceptance itu begini: terimalah kenyataan, berdamailah dengannya, dan separuh dari masalah terselesaikan.