Serba Serbi
Dentuman dan Kisah Watugunung Runtuh Hingga Saraswati
Jro Arimbawa memperkirakan suara menggelegar ini adalah pertanda kejahatan telah kalah, menyambut kemenangan saat Saraswati
Penulis: AA Seri Kusniarti | Editor: Irma Budiarti
Laporan Wartawan Tribun Bali, Anak Agung Seri Kusniarti
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Jro Arimbawa juga turut memerhatikan fenomena dentuman di Bali Utara.
Ia memperkirakan suara menggelegar ini adalah pertanda kejahatan telah kalah.
Serta akan menyambut kemenangan atas turunnya ilmu pengetahuan saat Saraswati.
Ia menceritakan, Sang Prabu Kulagiri (dari garis keturunan Raja Sagara) dari kerajaan Kundadwipa memiliki istri Dewi Sinta dan Dewi Landep.
Baca juga: Ihwal Watugunung Runtuh hingga Kronologi Meteor Jatuh yang Dentumannya Terdengar di Buleleng
"Mereka berdua di tinggal ke Gunung Mahameru untuk bertapa oleh sang raja," jelasnya kepada Tribun Bali, Senin 25 Januari 2021.
Saat itu Dewi Sinta sedang hamil, namun karena lama tak kembali, Dewi Sinta dan Dewi Landep lalu menyusul sang prabu ke pertapaan.
Dalam perjalanan Dewi Sinta melahirkan di atas sebuah batu, bayi itu kemudian diberi nama Watugunung.
Singkat cerita, tabiat anak itu keras kepala dan suka makan, tak sabar untuk makan, sehingga ibunya kesal saat memasak.
Saking kesalnya, ibunya memukul kepala Watugunung dengan “siut” (pengaduk nasi) sampai terluka.
Watugunung marah, lalu meninggalkan kerajaan, ia bertapa di hutan dan berhasil mendapat anugerah Dewa Brahma, berupa kesaktian yang tak terkalahkan oleh siapapun.
Lalu akhirnya dikalahkan oleh Bhatara Wisnu, dan sejak itu, Watugunung menjadi angkara murka.
Ia menaklukkan raja-raja mulai dari kerajaan Sang Prabu Ukir, Prabu Kulantir, Tolu, Gumbreg, Wariga, dan seterusnya sampai Sang Prabu Dukut.
Ia pun menaklukkan kerajaannya sendiri yakni Kundadwipa, lalu menikahi permaisuri kerajaan yang tak lain adalah ibunya sendiri yakni Dewi Sinta dan Dewi Landep.
Saat bercengkrama, Dewi Sinta melihat bekas luka di kepalanya, ia terkejut bahwa suaminya itu adalah anaknya sendiri, ia pun berusaha untuk memisahkan diri.
Baca juga: Lahir Senin Umanis Watugunung, Teliti dan Pencemburu, Begini Kehidupannya
Dewi Sinta mencari akal dengan mengatakan bahwa ia ingin seorang pelayan bernama Dewi Nawang Ratih.
Yang tak lain adalah permaisuri Dewa Wisnu, dan karena menyayangi istrinya, Watugunung menyanggupi.
Ia pergi ke Wisnuloka untuk mendapatkan Dewi Nawang Ratih, tentu saja Dewa Wisnu tak berkenan, pertempuran sengit pun terjadi, singkat cerita, Dewa Wisnu terdesak.
Bhagawan Wrehaspati lalu mengutus Bagawan Lumanglang untuk mencari tahu kesaktian Watugunung.
Bhagawan Lumanglang mengambil wujud laba-laba menyusup ke kamar Watugunung mengintip pembicaraan tentang rahasia kesaktiannya kepada Dewi Sinta.
Rahasia itu kemudian disampaikan kepada Dewa Wisnu, dalam pertarungan berikutnya, pada hari Redite Kliwon (Minggu) Dewa Wisnu ber-Triwikrama, Watugunung dikalahkan, tubuhnya terhempas jatuh ke bumi.
Maka pada hari itu disebut 'Watugunung Runtuh' dan juga disebut juga 'Kajeng Kliwon Pamelastali'.
Karena dengan tewasnya Watugunung maka lepaslah ikatan tak wajar antara Watugunung dengan ibunya Dewi Sinta.
Kajeng Kliwon ini juga merupakan Kajeng Kliwon terakhir dari rangkaian wuku dalam satu putaran.
Keesokannya Soma Umanis (senin), Watugunung menemui ajalnya, jasadnya tersangkut di batang pohon talas (candung), maka hari itu disebut 'Candung Watang'.
Baca juga: Suara Dentuman di Bali, Bertepatan dengan Kisah Gugurnya Raja Watugunung
Besoknya, hari Anggara Paing (selasa), jasad Watugunung diseret – seret, hari itu disebut 'Paid - paidan'.
Pada hari Buda Pon (rabu), Watugunung siuman kembali, sehingga hari itu disebut 'Buda Urip'.
"Keesokan harinya Wraspati Wage (kamis), Watugunung kembali dibunuh oleh Dewa Wisnu, hari itu.
Namun atas belas kasihan Dewa Siwa, maka Watugunung dihidupkan kembali, hari itu kemudian disebut dengan “Urip Kelantas” (hidup terus)," jelasnya.
Pada hari Sukra Kliwon (jumat), Watugunung membersihkan diri (sapuhawu), melakukan tapa brata yoga semadi.
Memohon pengampunan, serta memohon kepradnyanan/ilmu pengetahuan, dan hari itu disebut dengan “Pangeredana”.
Keesokannya, Saniscara Umanis (sabtu), Dewa Brahma menurunkan ilmu pengetahuan untuk semua umat manusia di dunia. Hari itu disebut dengan “Saraswati”.
"Dewa Wisnu saat itu berkata bahwa dalam setiap enam bulan Watugunung akan mengalami keruntuhan.
Baca juga: Kelahiran Redite Kliwon Watugunung, Bijaksana Tapi Terkesan Sombong
Baca juga: Lahir Kamis Wage Watugunung, Bagaimana Peruntungannya?
Baca juga: Lahir Rabu Pon Watugunung, Teliti dan Penyelidik, Apakah Hidupnya Mujur?
Apabila jatuhnya di bumi (darat), maka akan turun hujan, apabila jatuhnya di laut, maka di bumi tak turun hujan," sebutnya.
Demikian kutukan Dewa Wisnu kepada Watugunung, bersamaan dengan itu pula, semua raja yang telah dikalahkan oleh Watugunung dihidupkan kembali.
Nama Dewi Sinta dan Dewi Landep, nama-nama raja taklukan, dan nama Watugunung sendiri dijadikan nama-nama wuku, sehingga dikenal wuku dari Sinta sampai Watugunung.
(*)