Berita Bali

Penjual Sate Babi dan Siobak Stres, Harga Daging Babi di Bali Tembus Rp. 100 Ribu

Saat ini harga daging babi di Pulau Dewata sudah berada di kisaran Rp. 90 ribu hingga Rp. 100 ribu per kilogram.

Penulis: I Wayan Sui Suadnyana | Editor: Putu Dewi Adi Damayanthi
Tribun Bali/Eka Mita Suputra
Ilustrasi peternakan babi - Penjual Sate Babi dan Siobak Stres, Harga Daging Babi di Bali Tembus Rp. 100 Ribu 

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Harga daging babi di Bali terus meningkat.

Saat ini harga daging babi di Pulau Dewata sudah berada di kisaran Rp. 90 ribu hingga Rp. 100 ribu per kilogram.

Kondisi ini membuat penjual makanan yang menggunakan daging babi menjerit hingga stres.

Seperti yang dialami penjual sate babi dan siobak.

Baca juga: Harga Daging Babi di Bali Terus Melambung Naik Hingga Tembus Rp 90 Ribu

Baca juga: Stok Menipis, Harga Daging Babi Meroket Hingga Rp 20 Ribu Per Kilo di Buleleng Bali

Baca juga: Jelang Galungan Harga Daging Babi dan Ayam di Badung Meningkat

Bahkan ada yang sampai memutuskan berhenti sementara berjualan akibat tinggi harga daging babi di pasaran.

Salah satunya warung sate babi “Warisan Leluhur” di Banjar Blumbang, Kelurahan Kawan, Bangli, Bali.

“Saya sudah sejak tanggal 16 Januari berhenti berjualan imbas harga daging babi terus naik. Bahkan sejak dua hari lalu harganya di Pasar Bangli sudah mencapai Rp. 100 ribu per kilogram,” kata pemilik warung Warisan Leluhur, Wayan Sutresna, kepada Tribun Bali, Senin 25 Januari 2021 petang.

Dengan harga daging yang selangit, pria yang akrab disapa Kacong Bendot ini mengaku tak kuat lagi untuk menjual sate.

“Kalau terus memaksakan jualan, saya bisa kolaps,” ungkapnya.

Sementara Made Suradnyana pemilik Warung Nang Sura di Jalan Gatot Subroto Barat, Denpasar, bahkan mengaku stres dengan kondisi ini.

Saat situasi perekonomian masyarakat ambruk akibat pandemi, harga daging babi justru melambung tinggi.

Pria asal Kabupaten Buleleng ini mengungkapkan, harga daging babi di Denpasar berkisar Rp. 85 ribu per kilogram.

Sedang di Singaraja harganya sudah menembus Rp. 100 ribu per kilogram.

Suradnyana tak sampai berhenti berjualan meski harga daging babi tinggi.

Ia tetap berusaha bisa bertahan di tengah situasi yang berat ini.

“Ya sekadar untuk bisa bertahan berjualan. Supaya bisa bertahan, sekarang saya masaknya sedikit-sedikit,” tuturnya.

Saat daging babi masih harga Rp. 45 ribu per kilogram, sehari ia memakai daging 10-15 kilogram.

Kini ia hanya memakai daging 5 kilogram.

“Hanya ini cara satu-satunya. Karena kalau harga makanan dinaikkan, pelanggan pasti lari,” kata Suradnyana, yang sudah berjualan siobak puluhan tahun.

Ia pun berharap harga daging babi segera kembali stabil.

“Kalau begini terus, lama-lama pedagang bangkrut,” tandasnya.

Dampak Virus ASF

Kepala Bidang Peternakan Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Bali, Anak Agung Istri Intan Wiradewi, mengatakan harga daging babi merangkak naik perlahan sejak triwulan keempat tahun 2020.

"Penyebabnya karena ketersediaan babi yang kurang," kata Intan saat dihubungi Tribun Bali dari Denpasar, Senin 25 Januari 2021.

Menurutnya, kurangnya ketersediaan babi di Bali karena sempat tergerus wabah virus African Swine Fever (ASF).

Saat dilanda wabah tersebut, sebagian besar babi milik peternak mati dan sebagiannya lagi dijual besar-besaran oleh peternak.

Para peternak menjual babinya secara besar-besaran pada saat itu karena ketakutan akan dilanda kerugian yang lebih besar.

Bahkan ada peternak sampai menjual ratusan babinya hingga kandangnya kosong.

Para peternak sebagian besar menjual babinya ke luar Bali.

Situasi inilah yang menyebabkan populasi babi di Bali saat ini menurun drastis yakni sekitar 42 persen.

"Jadi memang babinya dijual, mereka ada yang mengosongkan kandang. Dari pada ternaknya mati, jadi ternaknya yang ada dijual," jelasnya.

Turunnya populasi babi inilah yang menyebabkan harga dagingnya menjadi semakin merangkak naik sesuai dengan hukum pasar.

"Naiknya bukan tiba-tiba melonjak menjadi Rp. 90 ribu. Perlahan dari Rp. 60 ribu, Rp. 65 ribu, (dan) Rp. 70 ribu. Begitu terus merangkak naik menjadi sekitar di angka Rp. 90 ribuan," tutur Intan.

Padahal, saat wabah ASF melanda dan peternak menjual ternaknya secara besar-besaran, harga daging babi pada waktu itu menjadi murah.

Situasi itu diperparah dengan adanya ketakutan di tengah masyarakat untuk mengonsumsi daging babi.

Intan menuturkan, guna mengembalikan harga daging babi kembali normal, saat ini babi betina tidak diperbolehkan untuk dipotong.

Melainkan dikembangkan menjadi indukan agar bisa berkembangbiak.

Hal ini juga memicu kenaikan harga daging babi di pasaran karena jumlah yang dipotong menjadi semakin terbatas.

Menurut Intan, pihaknya memang tidak bisa terlalu mengintervensi mengenai masalah harga, karena hal itu merupakan mekanisme pasar.

Akan tetapi, guna memberikan dukungan bagi masyarakat, dalam dokumen pelaksanaan anggaran (DPA) ada beberapa bantuan hibah untuk peternak babi di tahun 2021.

Selain itu, di Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan ada bidang kesehatan hewan yang memberikan edukasi kepada para peternak, mulai dari menjaga kebersihan kandang dan sebagainya sehingga bisa memelihara babi kembali.

"Kemarin memang ada shok dari para peternak karena memang ini kan ada penyakit yang baru, jadi bagaimana penanganannya, teman-teman di bidang keswan yang sudah mengedukasi peternak," kata dia. (*).

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved