Myanmar
PBB Sebut Myanmar Dikendalikan Rezim Pembunuh, Pedemo yang Tewas Sedikitnya 70 Orang
Data tersebut diungkapkan penyelidik hak asasi manusia ( HAM ) dari Perserikatan Bangsa-Bangsa, Thomas Andrews pada hari Kamis 11 Maret 2021.
TRIBUN-BALI.COM. JENEWA – Korban jiwa terus berjatuhan di Myanmar, negeri yang bergolak karena kudeta militer sejak 1 Februari 2021.
Sampai hari ini jumlah pedemo yang tewas terkena peluru tajam aparat keamanan junta dilaporkan sedikitnya 70 orang.
Data tersebut diungkapkan penyelidik hak asasi manusia ( HAM ) dari Perserikatan Bangsa-Bangsa ( PBB), Thomas Andrews pada Kamis 11 Maret 2021.
Kepada Dewan HAM PBB di Jenewa, Swiss, Andrews mengatakan junta militer Myanmar telah melakukan pembunuhan, penyiksaan, dan penganiayaan terhadap para demonstran.
Baca juga: Polisi Myanmar Mengaku Diperintah Junta Militer Tembak Demonstran Sampai Mati
Baca juga: Kudeta Militer Myanmar Ternyata Berkaitan Pula dengan Kerajaan Bisnis Raksasa
Andrews bicara kepada Dewan HAM PPB melalui pesan video dari Washington DC, Amerika Serikat ( AS).
Menurut Andrews sebagaimana dilansir Reuters, lebih dari setengah korban tewas berusia di bawah 25 tahun.
Disamping itu, lebih dari 2.000 orang telah ditahan secara tidak sah sejak militer merebut kekuasaan dari tangan pemerintahan sipil.
"Negara Myanmar sedang dikendalikan oleh rezim pembunuh ilegal. Ada banyak bukti video tentang pasukan keamanan yang dengan kejam memukuli pengunjuk rasa, petugas medis, dan pengamat," kata Andrews.
Menurut dia, ada rekaman video yang menunjukkan aparat Myanmar menembak seorang pedemo di kepalanya. Selain itu, ada video yang menunjukkan sejumlah tentara Myanmar menyeret atau membawa mayat korban.
Sekretaris Tetap Kementerian Luar Negeri Myanmar Chan Aye mengatakan, pihak berwenang fokus menjaga hukum dan ketertiban.
"Pihak berwenang telah menahan diri sepenuhnya untuk menangani protes kekerasan," kata Chan Aye.
Amerika Serikat mendesak semua negara untuk menekan militer Myanmar supaya menahan diri agar tidak melakukan kekerasan terhadap pengunjuk rasa yang damai.
Pemerintahan Presiden Joe Biden juga meminta semua negara untuk menekan junta militer Myanmar mengembalikan kekuasaan kepada pemerintah yang dipilih secara demokratis bulan November 2020.
China dan Rusia, yang memiliki hubungan dekat dengan militer Myanmar, menyerukan langkah-langkah menuju rekonsiliasi.
Baca juga: Takhayul Sarung Perempuan Myanmar Menakutkan Polisi dan Tentara
Kedua negara tersebut juga sekaligus menyerukan untuk menjunjung tinggi prinsip tidak ada campur tangan asing dalam urusan dalam negeri.
