Serba serbi

Tidak Hanya Halus dan Kasar, Berikut Tingkatan Bahasa pada Bahasa Bali

Mungkin belum banyak yang tahu, bahwa bahasa atau basa Bali memiliki tingkatan. Tidak hanya bahasa halus dan bahasa kasar saja

Istimewa
Dosen Fakultas Ilmu Budaya, Unud, Nala Antara 

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR – Mungkin belum banyak yang tahu, bahwa bahasa atau basa Bali memiliki tingkatan.

Tidak hanya bahasa halus dan bahasa kasar saja. Namun ada lagi beberapa tingkatannya.

Nala Antara, satu di antara pakar bahasa dan aksara Bali menjelaskan hal tersebut kepada Tribun Bali.

Nala, sapaan akrabnya, mengatakan bahwa berdasarkan hasil Pesamuhan Agung Basa Bali, dibahas mengenai tingkatan ini. Yang berlangsung sekitar tahun 1974 silam.

Disebutkan bahwa istilah yang digunakan adalah ‘anggah ungguhing basa’.

“Jadi sebelum itu ada istilah sor singgih basa, atau undag-undagan basa, ada sor singgih. Terus ada tingkatan-tingkatan bahasa, ada warna-warna bahasa, itulah beberapa istilah sebelum 1974 ketika Pasamuhan Agung Basa Bali ketiga dilangsungkan di Singaraja,” katanya, Rabu 17 Maret 2021.

Baca juga: Direksi Baru Ditarget Kembalikan Modal Rp 14 Miliar, Tabanan Segera Seleksi Dewan Pengawas Baru

Baca juga: Disela Rangkaian Kunker di Bali, Presiden Jokowi Mampir ke Toko Kerajinan di Ubud Gianyar

Baca juga: 15 Hari Terakhir, Pergerakan Penumpang di Bandara Ngurah Rai Bali Meningkat 35 Persen

Dosen Fakultas Ilmu Budaya, Unud, ini menjelaskan ada pula sebelumnya unda usuk untuk memilah tingkatan basa Bali ini.

“Berbicara tentang anggah-ungguhing basa, atau yang disebut spech level, atau tingkatan berbahasa. Sebenarnya kita bisa lihat dari kata-kata yang digunakan mulai dari kruna, dan rasa basa,” katanya.

Sebab, kata dia, berbicara anggah-ungguhing adalah rasa basa. Bisa dilihat dari kruna, hingga kalimat atau lengkara yang digunakan.

“Jadi dasarnya untuk menentukan tingkatan atau pilihan kata yang dipakai sesungguhnya,” jelas Nala.

Kata-kata atau kruna-kruna itu, dilihat dari anggah-ungguhnya. Atau tingkat- tingkatan itu, yang paling bawah adalah kruna kasar, kemudian andap, sesudah itu ada mider, dan terakhir ada kruna alus.

Sehingga ada 4 tingkatan dasar dalam basa Bali.

“Kruna kasar atau kata yang bernilai rasa kasar itu, sering digunakan untuk kata atau basa dalam hal sifatnya bertengkar, mengumpat, memisuh, dan sebagainya,” sebut pria asli Karangasem ini.

Namun uniknya, basa kasar juga digunakan di daerah tertentu dan menjadi basa keseharian dengan rasa basa yang memang akrab layaknya di seputaran wilayah Buleleng.

“Tetapi secara umum, basa kasar digunakan ketika bertengkar, mengumpat dan lain sebagainya,” jelasnya.

Selanjutnya ada basa andap yang levelnya di atas basa kasar. Walau demikian basa andap ini masih terbilang rendah tingkatannya.

Biasanya basa andap digunakan di antara pergaulan antar teman, basa bercanda, atau basa sehari-hari.

Di atas basa andap ini, ada namanya kruna atau basa mider.

“Namanya mider atau maideran bisa dipakai ke mana saja,” sebutnya.

Khusus kruna mider ini, rasa bahasanya netral sebab bentuk kata mider tidak mempunyai bentuk alus atau tidak juga kasar atau andap.

Semisal seperti kata tembok, meja, gulem, katik, dan sebagainya. Kata mider ini netral, jadi untuk menghormati orang lain bisa. Untuk diri sendiri juga bisa digunakan.

Ciri khas mider, kata Nala, bentuknya satu tidak ada bentuk alus atau kasar. Sehingga kruna mider ini bisa dipakai naik-turun karena tidak memiliki nilai rasa tetapi bersifat netral.

“Nah di atas ini baru ada kruna alus yang dibagi menjadi sor, madya mider dan singgih,” sebutnya.

Kruna-kruna alus inilah yang harus dipilih, ketika mau berbicara dengan seseorang sesuai angah ungguhing basa tersebut.

Biasanya kruna alus dipakai untuk berbicara kepada para pejabat, orang yang dituakan, orangtua, para yang disucikan dan sebagainya.

Berbeda dengan bahasa andap yang kerap digunakan sebagai bahasa pergaulan dan sehari-hari.

Kruna alus sor, namanya saja sor adalah kruna atau basa halus atau kata yang bernilai rasa halus untuk menghaluskan diri sendiri ataupun orang lain yang setara,” jelasnya.

Sedangkan alus mider, berbeda dengan kruna mider. Sebab kruna mider bersifat netral sedangkan alus mider adalah kata yang bernilai alus dan bisa digunakan untuk menghormati orang lain atau diri sendiri.

Cirinya, biasanya yang mider ini bentuk katanya terdiri dari dua kata.

“Ada pula yang tiga tapi jarang. Seperti kata andapnya teka maka alus midernya rauh,” sebut Nala.

Kemudian pula, kata andapnya luas dengan kruna alus midernya lunga, lakar dengan jagi atau pacang.

Kata-kata yang bisa menghaluskan atau menghormati, orang yang lebih tinggi kedudukannya atau menghaluskan orang sederajat.

“Kalau mider itu, satu bentuknya sedangkan kalau alus mider bisa dengan dua bentuk,” katanya.

Kemudian untuk alus madya, rasa basa alus tetapi berada di tengah-tengah. Contoh seperti kata sirep.

“Biasanya alus madya merupakan bentuk yang terpotong dari alus singgih, karena singgih untuk menghormati orang lain. Contohnya dingeh itu basa andap, alus sornya adalah miragi, dan alus singgihnya adalah mireng,” jelas Nala.

Sehingga tidak ada bentuk alus midernya, namun karena lebih dari dua pasti memiliki alus sor.

Untuk itu, Nala mengatakan agar dicari terlebih dahulu bentuk katanya.

Apabila bentuk katanya hanya satu, biasanya merupakan bahasa serapan dari bahasa lain maka akan menjadi mider.

Sebab tidak ada padanan dalam basa Bali. Seperti kata televisi yang bersifat netral dan bisa dipakai ke siapa saja. Baik kepada orang yang dihormati atau ke teman sebaya.

Sementara alus mider, bisa digunakan ke orang yang lebih tua atau ke diri sendiri. “Titiang sampun rauh, ida sampun rauh? Ini sama-sama alus mider,” katanya.

Kemudian alus madya cenderung merupakan potongan dari alus singgih, karena memiliki rasa lebih netral.

Semisal sampun dalam alus singgih, maka alus madyanya kerap menjadi ampun. Titiang pada alus singgih, menjadi tiang pada alus madya.

Nala mengatakan, yang perlu diperbincangkan atau didiskusikan adalah istilah basa kepara.

“Sebab ada beberapa pendapat, bahwa basa kepara yang biasa digunakan itu adalah basa andap itu sendiri. Tetapi sesungguhnya dilihat dari kata dalam basa kepara itu, adalah ketah atau lumbrah,” jelasnya.

Basa kepara juga berari bahasa yang biasa digunakan dalam masyarakat.

Sehingga hal tersebut yang masih perlu pemahanan lebih jauh, kepada penggunaan istilah basa kepara itu.

Padahal semua basa pun baik dari andap hingga alus singgih pasti menggunakan anggah-ungguhing basa.

Sehingga semua basa Bali juga akhirnya menjadi lumbrah.

“Makanya pesan saya, kenali dulu bentuknya supaya tidak merasa susah. Kalau bentuknya satu kemungkinan itu mider, kalau dua alus mider. Nah kalau lebih dari dua baru mulai berbicara memilih dan memilah,” katanya. Seperti teka adalah basa andap, dan basa alus midernya rauh.

Tetapi kalau lebih dari dua ini, bisa dicurigai memiliki basa andap, alus sor, hingga alus singgih. (*)

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved