Serba Serbi

Galungan Sebentar Lagi, Apa Esensinya Dalam Ajaran Hindu Bali

Secara umum, masyarakat mengatakan bahwa Galungan adalah hari raya kemenangan Dharma melawan Adharma.

Tribun Bali/Rizal Fanany
Ilustrasi sembahyang - Galungan Sebentar Lagi, Apa Esensinya Dalam Ajaran Hindu Bali 

Laporan Wartawan Tribun Bali Anak Agung Seri Kusniarti

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Dalam beberapa hari ke depan, umat Hindu di Bali akan merayakan hari raya Galungan.

Tepatnya pada Buda Kliwon Dungulan, 14 April 2021.

Bebantenan dan sarana upakara lainnya pun telah disiapkan sejak jauh-jauh hari sebelumnya.

Secara umum, masyarakat mengatakan bahwa Galungan adalah hari raya kemenangan Dharma melawan Adharma.

Baca juga: Dikenal Sebagai Gelungan Sulinggih, Apa Sebenarnya Makna Ketu di Bali?

Baca juga: Jelang Rahinan Sugihan Jawa dan Bali Serangkaian Hari Raya Galungan, Ini Maknanya Dalam Hindu Bali

Baca juga: Makna Sikap Asana dan Pranayama Dalam Tri Sandya di Bali

Berikut ulasannya, dari berbagai sumber yang dirangkum oleh Tribun Bali.

Dalam ajaran agama Hindu di Bali, bakti kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa adalah ketika datangnya hari suci atau hari raya.

Hari suci dalam agama Hindu di Bali, terjadi hampir setiap bulan.

Seperti Siwaratri, Nyepi, Saraswati, Pagerwesi, hingga Galungan dan Kuningan.

Serta masih banyak lagi hari raya penting lainnya.

Lazimnya hari suci yang dirayakan umat Hindu, khususnya hari besar jatuh enam bulan sekali atau setiap 420 hari.

Ada juga yang dirayakan setiap tahun sekali, seperti Purnama Sasih Kadasa, Tilem Sasih Kapitu, Purnama Sasih Lalat dan lain sebagainya.

Oleh sebab itu, perayaan suci dalam agama Hindu adalah berdasarkan pawukon dan sasih.

Khusus perayaan Galungan, kerap dirayakan dengan cukup meriah.

Mengingat Galungan adalah satu diantara hari raya besar bagi umat Hindu.

Namun jangan diartikan berpesta pora apalagi dengan hal yang di luar jalan Dharma.

Sebab pada saat Galungan, umat Hindu harus mampu mengendalikan dirinya.

Menyucikan diri dan pikiran, melakukan hal-hal kebajikan dan kegiatan mulia.

Serta memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta manifestasi-Nya.

Agar mendapatkan tuntunan hidup, selama hidup di dunia.

Memberi jalan menuju Dharma.

Sehingga bisa mengalahkan Adharma di dalam diri.

Untuk itu, saat Galungan, masyarakat Hindu di Bali menghaturkan suguhan sesajen (upakara) atau bebantenan.

Bebantenan ini juga sesuai dengan kemampuan masing-masing umat.

Sehingga tidak membebani masyarakat Hindu di Bali.

Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Putra Sara Shri Satya Jyoti, selalu mewanti-wanti bahwa agama Hindu adalah agama yang fleksibel.

"Yang penting inti dari upakara itu ada," tegas beliau kepada Tribun Bali.

Seperti saat Galungan masyarakat Hindu, akan menghaturkan sesajen atau upakara seperti banten kurenan, punjung, penyeneng, ragunan, gebogan dan lain sebagainya sesuai kemampuan umat Hindu.

Hal ini sebagai rasa wujud bakti dan terimakasih kepada Tuhan.

Atas segala rahmat karunia beliau selama manusia hidup di dunia.

Banten ini harus dihaturkan dengan tulus ikhlas, sehingga menjadi berkah bagi umat.

Kemudian Dharma yang dielu-elukan saat Galungan, secara harfiah berarti kebenaran.

Menurut Sri Svamu Sivananda (1993:37), bahwa kata Dharma berasal dari akar 'dh' yang artinya menyangga dunia ini. Atau penghuni dunia dan segenap ciptaannya.

Baik dari bhuana alit (manusia) hingga bhuana agung (alam semesta).

Seluruh ciptaan Tuhan ini, disangga dan dihidupi bersama-sama oleh hukum Tuhan sebagai yang Maha Berkuasa.

Sehingga ajaran Dharma adalah pengenalan kembali dari hukum ini dan mematuhinya.

Manfaat menjalankan Dharma ini, adalah pengharapan untuk mencapai kemuliaan dari semua usaha umat manusia selama hidup di dunia.

Satu diantaranya adalah tujuan akhir hidup umat Hindu yakni moksa. (*).

Kumpulan Artikel Bali

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved