Berita Bangli

Tradisi Pesamsaman Desa Adat Kubu Bangli Saat Sugihan Jawa, Upacara Penyucian Bagi Warga Usai Cerai

Bendesa Adat Kubu, I Nyoman Nadi mengungkapkan tujuan tradisi Pesamsaman karena leluhur di wilayah Kelurahan Kubu tidak menginginkan ada masyarakat

Penulis: Muhammad Fredey Mercury | Editor: Wema Satya Dinata
Tribun Bali/Muhammad Fredey Mercury
Sejumlah warga yang bercerai saat melakukan upacara penyucian di depan candi bentar pura desa. Kamis (8/4/2021) 

TRIBUN-BALI, BANGLI – Wilayah Desa Adat Kubu, Kelurahan Kubu Bangli memiliki tradisi unik berkaitan dengan perceraian.

 Tradisi yang diwariskan turun-temurun ini, disebut dengan Pesamsaman atau nyapihan.

Tradisi ini dilakukan dua kali setahun, tepatnya saat sugihan jawa, atau sebelum menyambut hari raya Galungan.

Bendesa Adat Kubu, I Nyoman Nadi mengungkapkan tujuan tradisi Pesamsaman karena leluhur di wilayah Kelurahan Kubu tidak menginginkan ada masyarakat yang bercerai.

Baca juga: GUPBI Bali Akui Hanya Kabupaten Bangli Yang Tidak Kekurangan Stok Babi Jelang Galungan 2021

Sedangkan makna upacara Pesamsaman, adalah untuk penyucian kembali setelah melakukan perceraian.

“Dulu masih bersuami-istri, karena bercerai akhirnya dilaksanakan upacara adat mesamsam. Tradisi ini digelar berdasarkan surat putusan pengadilan tentang perceraian, serta awig-awig dan pararem desa,” ungkapnya didampingi Penyarikan Desa Adat Kubu, I Nengah Miasa Kamis 8 April 2021.

Nadi yang juga seorang guru PPKN di Yayasan Pasraman Gurukula, Bangli itu menjelaskan, dalam prosesnya, pasangan suami istri yang bercerai mula-mula mengisi administasi.

Selanjutnya, sepasang suami istri atau salah satunya dihadirkan di Balai Banjar didampingi orang tuanya, untuk mengikuti sidang desa adat.

Prosesi ini disaksikan oleh prajuru desa, peduluan desa, serta pihak-pihak terkait yang sebelumnya juga menjadi saksi pada pernikahan sebelumnya.

“Yang menyaksikan dulu saat mereka menikah, sekarang wajib juga menyaksikan saat bercerai. Termasuk juga kepala lingkungan hingga pak lurah.

Untuk yang bercerai, apabila keduanya berasal dari Kubu, wajib hadir. Namun jika salah satunya misalkan istrinya dari Denpasar, bisa suaminya saja,” jelas pria 56 tahun itu.

Setelah berkumpul di Balai Banjar, pasangan suami istri yang bercerai menunjukkan barang bukti berupa akta perceraian dari pengadilan, surat keterangan kepolisan, dan lain sebagainya yang menunjukkan bahwa pasangan suami istri tersebut telah sah bercerai secara hukum.

 “Seluruh kelengkapan itu diperiksa oleh penyarikan. Jika dinilai sudah lengkap, selanjutnya Prajuru Desa Adat Kubu memulai sidang adat melalui awig-awig yang disebut penyapihan, dipimpin oleh Bendesa,” ucapnya.

Prosesi pesamsaman kali ini diikuti oleh tujuh pasang suami istri yang bercerai.

Baca juga: 69 Siswa Bangli Bali Putus Sekolah Selama Tahun 2020

 Prosesi ini wajib dilakukan seluruh masyarakat Desa Adat Kubu.

Sebab warga yang telah sah bercerai secara hukum, namun belum mengikuti tradisi pesamsaman, maka yang bersangkutan masih dianggap suami istri secara adat.

“Kalau belum mesamsam, berarti warga tersebut masih dikenai ayahan mungkul. Sedangkan jika sudah bercerai dan sudah sah secara adat, maka yang bersangkutan dikenai ayahan balu.

 Selain itu, jika warga belum melaksanakan pesamsaman, maka ia tidak boleh menikah lagi. Termasuk bagi mereka yang cerai karena ditinggal meninggal,” jelasnya.

Denda Bagi Penggugat Cerai

Penyarikan Desa Adat Kubu, I Nengah Miasa menambahkan, dalam sidang adat, bendesa selaku pemimpin sidang akan meminta keterangan alasan perceraian dari masing-masing warga yang bercerai. Selanjutnya pembacaan awig dan perarem, serta pemutusan denda dari bendesa.

Denda yang dimaksud, lanjut Miasa, ada dua jenis.

 Pertama karena pasangan tersebut bercerai, dan kedua untuk biaya pemutus baos. Lebih lanjut diterangkan, besaran denda perceraian yakni Rp 1 juta.

Denda tersebut dibebankan pada pihak yang menggugat cerai.

 Sementara biaya pemutus wicara atau pemutus baos, nominalnya Rp 250 ribu yang juga dibebankan pada pihak penggugat cerai.

“Jadi total dendanya Rp. 1.250.000. Kalau dulu pakai jinah bolong (uang bolong). Untuk yang Rp. 1 juta, jika dibayar menggunakan pis bolong sebanyak 500 kepeng. Kalau yang Rp 250 ribu, sebanyak 125 kepeng.

Baca juga: Akibat Pandemi Covid-19, Peserta Pelatihan BLK Bangli Tahun 2021 Lampaui Kuota

Denda ini diberlakukan karena kita tidak menginginkan warga kita cerai. Namun karena dia melanggar perkawinan (cerai), maka dia dikenai denda. Termasuk bagi yang cerai mati, juga kena denda,” ucapnya.

Setelah sidang berakhir, para pasangan yang bercerai melakukan upacara penyucian di depan candi bentar pura desa dipuput Jero Mangku desa.

 Pasangan yang bercerai juga mematahkan (ngepeh) pis bolong yang bermakna pasangan tersebut telah berpisah.

 “Selanjutnya warga melakukan persembahyangan di Pura Puseh. Karena dulu saat menikah, dia sembahyang di Puseh menyatakan bahwa pasangan itu menikah. Sekarang saat menyatakan diri cerai, wajib juga mepiuning di Puseh,” tandasnya. (*)

Artikel lainnya di Berita Bangli

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved