Berita Bali
Menilik Tilang ETLE dari Perspektif Sosiologis, Apakah Ada Ruang Kompromi Untuk Kemanusiaan?
Electronic Traffic Law Enforcement atau ETLE menjadi salah satu teknologi yang saat ini dikembangkan oleh Kepolisian Republik Indonesia
Penulis: Adrian Amurwonegoro | Editor: Putu Dewi Adi Damayanthi
"Kalau Denpasar, saya pikir mungkin tidak sekedar persuasif untuk mengubah budaya dalam berkendara, memang sejak lama budaya berkendara di Denpasar kurang tertib, jadi saya pikir tidak sekedar persuasif," kata dia.
"Maka dari itu, asalkan ETLE bisa memberikan sanksi secara konsisten, bisa merubah perilaku berkendara masyarakat," imbuhnya.
Lebih lanjut, Wahyu menuturkan, dalam kajian sosiologis ada yang namanya sistem untuk memantau atau mengontrol atau mengawasi masyarakat yang dinamakan sistem Panoptikon.
"Panoptikon prinsipnya bagaimana kita bisa mengawasi orang lain tanpa orang lain tahu kalau dia sedang diawasi. Panoptikon paling awal adalah penjara yang bentuknya colosseum di tengah penjara ada menara pengawas, menara itu seolah selalu mengawasi semua tahanan, padahal belum tentu, bisa jadi penjaga di dalamnya sedang tidur," kata dia.
Konsep Panoptikon ini pun dipraktekkan dalam pos-pos polisi di persimpangan jalan.
"Yang pahan dengan konsep ini, mereka membangun Panoptikon dengan kaca hitam, seolah dari dalam selalu mengawasi di luar padahal sebetulnya yang di dalam belum tentu mengawasi. Bahkan kadang tidak ada personel tapi kita yang lewat selalu merasa diawasi dengan adanya pos polisi," jelasnya.
Dalam perkembangan modern, Panoptikon sekarang paling mutakhir menjelma seperti CCTV, ETLE, yang kemudian menjadi teknologi yang membuat kontrol atau pengawasan terhadap masyarakat semakin mudah, tapi di sisi lain masyarakat selalu merasa dalam kontrol dan pengawasan.
"Ada sisi baiknya dan tidaknya. Sisi baiknya masyarakat mengalami pendisiplinan secara otomatis, tetapi sisi buruknya teknologi tidak bisa diajak kompromi," ujar dia.
"Misalkan seringkali ada hal-hal darurat di jalanan seperti orang harus terpaksa melanggar lalin misal mengantar istrinya yang mau melahirkan, kemudian orang terpaksa cepat-cepat ke IGD karena menyelamatkan korban kecelakaan di jalan," jelasnya.
"Apakah fungsi ETLE bisa berkompromi, apakah jatuhnya pelanggaran ? dan apakah ada ruang kompromi atau diskusi dari pengguna jalan untuk alasan kemanusiaan ? saya pikir ini yang perlu ditekankan atau diingatkan pada pemangku kebijakan apakah ada ruang negosiasi diskusi dan kompromi untuk pelanggaran semacam ini," ucap pria yang aktif mengajar di Kampus Unud itu.
Dalam istilah sosiologis, Wahyu menyebut, ada pelanggran atau penyimpangan yang diperbolehkan atau disebut pelanggaran primer yang istilahnya dengan alasan kemanusiaan.
Apakah semakin ke sini Panoptikon semakin otoriter karena sulit diajak berdiskusi atau kompromi karena dijalankan oleh robot atau mesin, atau bisa berkompromi.
"Kadang di lapangan ada orang melanggar lalin karena sebab khusus, di situ seringkali polisi malah membantu tetapi untuk teknologi ini, besok semakin ke depan jumlah aparatur di lapangan digantikan teknologi ETLE, hal-hal seperti ini akan sulit terjadi lagi," beber dia.
"Ini sudah menajdi masalah sejak dulu bagimana teknologi mau tidak mau sedikit mengikis kemanusiaan atau gagal menempatkan manusia sebagai makhluk yang punya perasaan," pungkas dia.(*).