Berita Bali
Menilik Tilang ETLE dari Perspektif Sosiologis, Apakah Ada Ruang Kompromi Untuk Kemanusiaan?
Electronic Traffic Law Enforcement atau ETLE menjadi salah satu teknologi yang saat ini dikembangkan oleh Kepolisian Republik Indonesia
Penulis: Adrian Amurwonegoro | Editor: Putu Dewi Adi Damayanthi
Laporan wartawan Tribun Bali, Adrian Amurwonegoro
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Electronic Traffic Law Enforcement atau ETLE menjadi salah satu teknologi yang saat ini dikembangkan oleh Kepolisian Republik Indonesia untuk memperkuat fungsi pengawasan dalam berlalu lintas di jalan raya.
Program ini merupakan salah satu program Kapolri Jenderal polisi Listyo Sigit Prabowo.
Termasuk untuk diterapkan di Provinsi Bali yang saat ini perangkatnya sudah terpasang di satu titik yakni Simpang Jalan Tengku Umar dan Jalan Imam Bonjol atau sering disebut Simpang Buagan, namun belum resmi beroperasi.
Tentu jika menilik dari perspektif hukum kepolisian fungsi penerapan ETLE sangat efektif dan efisien guna menindak atau melakukan kontrol pengawasan terhadap masyarakat yang melakukan pelanggaran lalu lintas di jalan raya.
Baca juga: Tilang ETLE Siap Jalan di Denpasar, Mulai Pasang di Empat Titik, Rencananya Diresmikan Kapolri
Baca juga: Siap-siap, Polda Bali Mulai Pasang Perangkat Tilang Elektronik ETLE di Denpasar
Baca juga: Soal Tilang Elektronik, Ketua MTI Bali:ETLE Tak Hanya Jadi Law Enforcement Tapi Learning Enforcement
Lantas seperti apa jika penerapan ETLE ditilik dari perspektif sosiologis?
Sosiolog Universitas Udayana Bali, Wahyu Budi Nugroho, menilai bahwa penerapan ETLE tentu memiliki dampak yang positif dan juga menyisakan pertanyaan.
Fungsi ETLE dapat berdampak positif apabila ke depan dapat membuktikan perannya untuk merubah perilaku berkendara masyarakat ke arah yang lebih baik dan mengurangi angka pelanggaran dan tentunya kecelakaan lalu lintas di jalan raya.
"Memang ada beberapa teknologi yang berhasil merubah perilaku masyarakat, misalkan HP awalnya digunakan untuk mendekatkan yang jauh sekarang justru menjauhkan yang dekat, kemudian laptop dan lain-lain," ujar Wahyu kepada Tribun Bali, Selasa 20 April 2021.
"Kunci agar teknologi bisa mengubah perilaku masyarakat dia harus bersentuhan langsung dengan masyarakat dan harus berdampak langsung," sambungnya.
Apakah ETLE dapat mengubah perilaku berkendara ?
Menurut Wahyu, ETLE harus bersentuhan langsung dengan masyarakat, dalam hal ini misalkan ketika terjadi pelanggaran sanksi atau hukuman harus betul-betul konsisten dan konsekuen.
"Selama kemudian dia punya sanksi yang konsisten saya pikir lambat laun bisa mengubah cara atau budaya berkendara masyarakat yang kurang baik menjadi tertib," tuturnya.
Kemudian, apakah masyarakat jika berubah menjadi tertib karena paksaan teknologi atau kesadaran si pengendara ?
Kata Wahyu, hal ini kembali ke masyarakat, ada yang sekedar butuh ajakan persuasif, ada yang perlu represif atau tekanan, dalam istilah lain mekanisme reward and punishment.
"Kalau Denpasar, saya pikir mungkin tidak sekedar persuasif untuk mengubah budaya dalam berkendara, memang sejak lama budaya berkendara di Denpasar kurang tertib, jadi saya pikir tidak sekedar persuasif," kata dia.
"Maka dari itu, asalkan ETLE bisa memberikan sanksi secara konsisten, bisa merubah perilaku berkendara masyarakat," imbuhnya.
Lebih lanjut, Wahyu menuturkan, dalam kajian sosiologis ada yang namanya sistem untuk memantau atau mengontrol atau mengawasi masyarakat yang dinamakan sistem Panoptikon.
"Panoptikon prinsipnya bagaimana kita bisa mengawasi orang lain tanpa orang lain tahu kalau dia sedang diawasi. Panoptikon paling awal adalah penjara yang bentuknya colosseum di tengah penjara ada menara pengawas, menara itu seolah selalu mengawasi semua tahanan, padahal belum tentu, bisa jadi penjaga di dalamnya sedang tidur," kata dia.
Konsep Panoptikon ini pun dipraktekkan dalam pos-pos polisi di persimpangan jalan.
"Yang pahan dengan konsep ini, mereka membangun Panoptikon dengan kaca hitam, seolah dari dalam selalu mengawasi di luar padahal sebetulnya yang di dalam belum tentu mengawasi. Bahkan kadang tidak ada personel tapi kita yang lewat selalu merasa diawasi dengan adanya pos polisi," jelasnya.
Dalam perkembangan modern, Panoptikon sekarang paling mutakhir menjelma seperti CCTV, ETLE, yang kemudian menjadi teknologi yang membuat kontrol atau pengawasan terhadap masyarakat semakin mudah, tapi di sisi lain masyarakat selalu merasa dalam kontrol dan pengawasan.
"Ada sisi baiknya dan tidaknya. Sisi baiknya masyarakat mengalami pendisiplinan secara otomatis, tetapi sisi buruknya teknologi tidak bisa diajak kompromi," ujar dia.
"Misalkan seringkali ada hal-hal darurat di jalanan seperti orang harus terpaksa melanggar lalin misal mengantar istrinya yang mau melahirkan, kemudian orang terpaksa cepat-cepat ke IGD karena menyelamatkan korban kecelakaan di jalan," jelasnya.
"Apakah fungsi ETLE bisa berkompromi, apakah jatuhnya pelanggaran ? dan apakah ada ruang kompromi atau diskusi dari pengguna jalan untuk alasan kemanusiaan ? saya pikir ini yang perlu ditekankan atau diingatkan pada pemangku kebijakan apakah ada ruang negosiasi diskusi dan kompromi untuk pelanggaran semacam ini," ucap pria yang aktif mengajar di Kampus Unud itu.
Dalam istilah sosiologis, Wahyu menyebut, ada pelanggran atau penyimpangan yang diperbolehkan atau disebut pelanggaran primer yang istilahnya dengan alasan kemanusiaan.
Apakah semakin ke sini Panoptikon semakin otoriter karena sulit diajak berdiskusi atau kompromi karena dijalankan oleh robot atau mesin, atau bisa berkompromi.
"Kadang di lapangan ada orang melanggar lalin karena sebab khusus, di situ seringkali polisi malah membantu tetapi untuk teknologi ini, besok semakin ke depan jumlah aparatur di lapangan digantikan teknologi ETLE, hal-hal seperti ini akan sulit terjadi lagi," beber dia.
"Ini sudah menajdi masalah sejak dulu bagimana teknologi mau tidak mau sedikit mengikis kemanusiaan atau gagal menempatkan manusia sebagai makhluk yang punya perasaan," pungkas dia.(*).