Hari Pendidikan Nasional

Ini Makna Guru Dalam Ajaran Agama Hindu di Bali

Guru menjadi sangat penting, selain orang tua dalam mendidik anak agar menjadi berguna. Atau dalam Bahasa Bali dikenal dengan sebutan suputra

Penulis: AA Seri Kusniarti | Editor: Wema Satya Dinata
Net
Ilustrasi guru - Makna Guru Dalam Ajaran Agama Hindu di Bali 

Laporan Wartawan Tribun Bali Anak Agung Seri Kusniarti

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas), menjadi satu diantara momen penting.

Yakni sebagai peringatan dan penghormatan kepada guru beserta dunia pendidikan.

Lalu sebagai pencerah umat manusia dalam memberikan ilmu pengetahuannya.

Guru menjadi sangat penting, selain orang tua dalam mendidik anak agar menjadi berguna. Atau dalam Bahasa Bali dikenal dengan sebutan suputra.

Baca juga: Jadi Guru di Nusa Penida, 10 Tahun Gede Jaya Hidup Jauh dari Keluarga

 Sehingga dalam Hindu Bali, selain menghormati orang tua atau Guru Rupaka, seorang anak juga harus menghormati gurunya di sekolah, atau disebut Guru Pengajian.

Untuk itu, tidaklah pantas seorang anak atau siswa durhaka pada gurunya. Atau yang disebut alpaka guru.

Hal ini semuanya dijelaskan dalam tatanan Catur Guru dalam Agama Hindu.

"Catur berarti empat, atau sering disebut juga catus dan cadhu yang dalam Bahasa Sansekerta juga berarti empat," jelas Jero Mangku Ketut Maliarsa, kepada Tribun Bali, 2 Mei 2021.

Kata guru, lanjut ia, bermakna pengajar atau pendidik.

Dalam Bahasa Sansekerta terdiri dari aksara 'Gu' yang berarti gunatikha dengan arti tidak terbelenggu oleh materi.

Aksara 'Ru' yang beranalogi dengan kata Rupawarjita yang artinya mampu mengubah atau menyeberangkan orang lain dari lautan kesengsaraan.

Ki Hajar Dewantoro, kata dia, mengatakan bahwa guru adalah yang dapat digugu dan ditiru.

Digugu artinya dapat dipercaya tentang sikap, perilaku, kemampuan akademiknya, cara berpikirnya, dan juga keluasan wawasan pengetahuannya.

Kata ditiru artinya yang dapat diteladani mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan hal- hal etika moral, kedisiplinan, dan cara mengelola kehidupan sehingga selalu berada pada jalan yang benar dan tidak menyimpang dari ajaran kebenaran.

Baca juga: KISAH Ketut Wiku, Guru Kontrak yang Nyambi Jualan Baju Online, Gaji Sebulan Hanya Cukup untuk Makan

 "Ini lebih khusus menyangkut guru pengajian atau guru di sekolah," jelasnya.

Ajaran Agama Hindu menekankan konsep filsafat Catur Guru, meliputi Guru Swadyaya, Guru Rupaka, Guru Pengajian, dan Guru Wisesa.

 "Kempat guru ini tidak boleh diabaikan dan harus diimplementasikan oleh umat Hindu secara holistik atau satu-kesatuan, jika menghendaki para umat Hindu berkehidupan yang baik, mulia, berbakat dan bermartabat," kata pensiunan kepala sekolah ini.

Khususnya dalam mengarungi hidup dan kehidupan sebagai umat Hindu agar dapat mencapai kedamaian, ketentraman, kesehatan, kesejahteraan, panjang umur dan lain sebagainya. Serta mampu bermuara untuk mencapai tujuan hidup agama Hindu. Yaitu 'Moksartam Jagadhita Ya Ca Iti Dharma'.

"Mengapa keempatnya ini tidak boleh diabaikan, oleh karena keempatnya ini berfungsi sebagai landasan yang kuat untuk mencapai kebahagian lahir batin sebagai umat yang menekuni ajaran agama Hindu," ucapnya.

Guru Swadyaya adalah guru sejati, guru alam semesta beserta isinya, termasuk manusia itu sendiri.

Guru ini dalam sastra Hindu, sering disebut Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa.

Umat Hindu sangat meyakini bahwa guru ini adalah guru tertinggi karena menciptakan, memelihara, dan dapat mempralina segala isi alam yang mestinya sudah dipralina.

"Bahkan beliau diberi sebutan Maha Agung, Maha Kuasa, Maha Adil dan Maha Penyayang," imbuhnya.

Sehubungan dengan itu, para umat Hindu sebagai perwujudan rasa bakti dan rasa hormat dengan selalu memuja kebesaran-Nya dengan menerapkan juga ajaran - ajaran kebenaran yang diwahyukan kepada orang- orang suci  atau para rsi sehingga menjadi pegangan ajaran kebenaran berupa kitab suci.

Lalu ada Guru Rupaka, yang sering disebut Guru Reka yaitu guru yang berfungsi sebagai orang tua atau ibu- bapak dalam kehidupan rumah tangga.

Baca juga: Kisah Perjuangan Pramaartha untuk Bisa Jadi Guru Kontrak, Butuh Waktu 11 Tahun

Rumah tangga dikatakan sebagai pendidikan pertama dan utama.

Pertama karena sang anak pada awalnya menerima pembinaan-pembinaan yang sebagai gurunya adalah orang tua.

Dikatakan sebagai memperoleh pendidikan utama karena di dalam rumah tanggalah sang anak mendapatkan pendidikan yang sangat mulia untuk membentuk karakter atau watak atau kepribadiannya.Sehingga menjadi anak yang suputra.

 "Guru Rupaka juga mempunyai tatanan tugas berat, tapi mulia sehingga tidak mungkin terbalaskan oleh sang anak," tegasnya. Tugasnya dalam ajaran agama Hindu disebut Panca Widha.

Diantaranya, orang bertugas melahirkan(ametuwaken), penolong jiwa raga sang anak (matulung urip), berkewajiban memberi makan dan minum (maweh bhojana), bertugas membuatkan upacara Manusa Yadnya(anyang ngaskara). Serta orang tua sangat berjasa mendidik dan membina putra- putrinya dalam rumah tangga(mangidhyaya).

Guru Pengajian sering disebut guru waktra adalah guru yang mendidik, mengajar dan melatih di lembaga pendidikan atau sekolah.

Mendidik artinya membina anak didik dalam rangka yang berkaitan dengan etika moral dan sopan santun, sehingga menjadi anak yang mempunyai harkat dan martabat agar berperilaku sopan santun.

Dalam dunia pendidikan, guru mempunyai tugas mengajar untuk menciptakan agar para siswa menjadi cerdas, pandai, dan berwawasan ilmu pengetahuan dengan berbagai pengetahuan dari mata pelajaran di sekolah. Sehingga berlaku konsep belajar adalah berusaha memperoleh ilmu pengetahuan, agar pandai dan cerdas.

"Dan yang ketiga, tugas guru melatih para siswa agar terampil mengerjakan sesuatu, sehingga menghasilkan skill yang mampu menyelesaikan pekerjaan yang baik dan sempurna," imbuhnya.  Guru sangat berusaha, agar peserta didik memperoleh hasil yang baik. Dalam istilah pendidikan yaitu berkognitif (knowladge), berafektif (attitude), dan berpsyikhomotorik (terampil).

Memperhatikan penjelasan itu, maka tugas guru sangat berat. "Maka dari sebagai guru hendaknya selalu menerapkan Tri Disiplin, disiplin waktu, disiplin kerja, dan disiplin tanggung jawab," sebut pemangku asal Bon Dalem ini.

Sehubungan dengan itu, maka tugas guru itu sangat berat, karena bertugas memanusiakan manusia agar menjadi manusia bersifat manusiawi. Demikian jasa guru agar dapat menciptakan manusia Indonesia seutuhnya.

Demikian beratnya tugas guru maka tidak ada alasan untuk ada peserta didik yang bersifat alpaka guru khususnya pada guru pengajian.

"Jika ada yang demikian, maka dalam bisa disebut dudu presangga ring ikanang guru pengajian dosa ngarania," katanya. Ada pula guru wisesa, yaitu guru tempat umat manusia memperoleh sesuatu hal yang baik dan positif dengan cara menaati segala peraturan dan perundang- undangan yang berlaku.

Agar tercipta masyarakat yang tentram, harmonis, dalam menciptakan kehidupan berbangsa dan bernegara.  Dengan selalu berpegangan dan mengakui negara Indonesia, berideologi Pancasila, berkonstitusi UUD 1945, mengakui NKRI dan bhineka tunggal ika.

"Dan dalam hal ini, guru wisesa atau pemerintah berkewajiban melayani, menciptakan ketenteraman dan kesejahteraan kehidupan masyarakat," katanya. Kesimpulannya bahwa dalam tatanan susastra agama Hindu.

Catur guru merupakan filsafat hidup masyarakat Hindu yang diterima sebagai warisan dan dilanjutkan secara turun-temurun. Keempat guru ini harus dihormati dengan sungguh- sungguh, oleh peserta didik pada khususnya, dan umat Hindu pada umumnya.

"Serta tidak ada yang alpaka guru, jika ada yang demikian konsekuensinya akan menerima ganjaran yang tidak baik bahkan akan menjadi sampah masyarakat," imbuhnya. (*)

Artikel lainnya di Hari Pendidikan Nasional

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved