Berita Bali

Menelaah Peredaran Narkoba di Bali hingga Benturan Pendekatan Pidana Vs Rehabilitasi

Menelaah Potensi Peredaran Narkoba di Bali hingga Benturan Pendekatan Pidana vs Rehabilitasi

Penulis: Adrian Amurwonegoro | Editor: Widyartha Suryawan
Dok. Istimewa
ilustrasi - Menelaah Potensi Peredaran Narkoba di Bali hingga Benturan Pendekatan Pidana vs Rehabilitasi 

TRIBUN-BALI.COM - Pengungkapan penyelundupan 44 kilogram narkoba jenis ganja yang berhasil digagalkan di Terminal Mengwi, Badung, Bali, pada Senin 14 Juni 2021 dini hari masih menjadi sorotan publik.

Menurut BNNP Bali, pengungkapan tersebut adalah yang terbesar hingga pertengahan tahun 2021 ini.

Lantas, bagaimana fenomena peredaran narkoba di Pulau Dewata?

Bali sebagai daerah wisata dinilai memang rawan menjadi pangsa pasar peredaran narkoba.

Hal itu diungkapkan oleh kriminolog asal Bali, Prof Rai Setiabudhi.

Guru Besar Hukum Pidana dan Kriminologi Fakultas Hukum Universitas Udayana Bali, Prof. Rai Setiabudhi.
Guru Besar Hukum Pidana dan Kriminologi Fakultas Hukum Universitas Udayana Bali, Prof. Rai Setiabudhi. (ist)

"Bali sebagai tempat pariwisata dampak negatifnya adalah rawan terhadap kejahatan narkotika. Bicara angka, Narkoba merupakan kejahatan terselubung, yang tertangkap sesungguhnya kecil, sama dengan teori gunung es, padahal di baliknya yang tidak tertangkap lebih banyak dan lebih besar dari manifest yang muncul ke permukaan," tutur Prof Rai, Senin 14 Juni 2021.

Bali sebagai daerah wisata, kata Prof Rai, kerap dimanfaatkan wisatawan maupun warga lokal untuk sasaran pemasaran dan penyalahguna narkoba, sehingga pengawasan dan penjagaan harus diperketat.

"Tidak jarang para wisatawan mengkonsumsi narkotika dan memanfaatkan Bali sebagai daerah wisata. Mereka ada sebagai pengedar ada sebagai pemakai, sehingga pemasaran di daerah pariwisata lebih gampang, karena ada supplay dan demand hukum ekonominya. Semakin banyak pecandu narkoba di Bali, pemasaran semakin bagus. Narkoba ini cepat mempengaruhi lingkungan baik warga lokal wisatawan," katanya.

Prof Rai mengaku prihatin dengan masih maraknya narkoba. Padahal jelas-jelas dampaknya berbahaya mendatangkan efek candu yang sulit diputus.

Hal ini menjadi tugas bersama seluruh elemen, baik pemerintahan, aparat penegak hukum dan masyarakat untuk memperkuat fungsi pengawasan, baik secara preventif maupun represif.

Baca juga: Bandar Besar Pemasok Ganja di Bali Licin Seperti Belut - Dikirim dari Medan, Harga Jual 3 Kali Lipat

"Harus benar-benar menjadi pengawasan dari aspek preventif dan represif. Preventif ini tugas kira semua, sedangkan represif tugas dari aparat penegak hukum. Datanya lebih mengarah pada peningkatan cukup signifikan. Kita sangat prihatin terhadap kondisi seperti itu," ucapnya.

Terkait sasaran kejahatan narkoba, kata Prof Rai, sudah merambah dari kalangan usia anak-anak hinga orang tua yang didominasi usia produktif mulai dari remaja.

"Sasaran kejahatan narkoba di Bali mulai dari kalangan anak-anak remaja hingga orang tua. Usia remaja gawat, sudah sangat riskan, walaupun sejak tahun 80-an perang melawan narkotika, tetapi kita belum pernah memenangkan perang itu," ujarnya.

"Peningkatan narkoba di masa pandemi kemungkinan bisa terjadi karena masa pandemi ada kesulitan di bidang ekonomi. Mereka mencari jalan pintas. Salah satunya pengedar narkoba," katanya.

Faktor Ekonomi
Menurut teori kriminologi, ada hubungan antara faktor ekonomi dengan kejahatan, bahwa semakin ekomoni terpuruk maka kejahatan dapat semakin meningkat.

Dalam hal ini ada kesempatan bagi mereka para pelaku maka muncul niat untuk melakukan.

"Mereka ada kesempatan. Ada celah mengedarkan narkoba atau jual beli narkoba. Lalu dimanfaatkan. Yang jelas, memang ada faktor ekonomi terpuruk dengan kejahatan yang bisa terjadi. Salah satunya bentuk kejahatan dalam bidang narkotika," jabarnya.

BNNP Bali menggagalkan masuknya 44 kilogram ganja yang diangkut sebuah truk ekspedisi di Terminal Mengwi, Badung, Bali, pada Senin 14 Juni 2021 dini hari. 
BNNP Bali menggagalkan masuknya 44 kilogram ganja yang diangkut sebuah truk ekspedisi di Terminal Mengwi, Badung, Bali, pada Senin 14 Juni 2021 dini hari.  (Tribun Bali/Adrian)

Prof Rai berharap, perhatian serius lebih diberikan oleh aparat penegak hukum yang berwenang sebagai ujung tombak, baik secara pencegahan aspek preventif maupun represif.

"Khusus untuk pencegahan bisa dilakukan melalaui kegiatan-kegiatan yang terkait, khususnya dengan generasi muda, sosialisasi anti narkoba. Dan pendekatan keluarga. Masing-masing keluarga supaya berperan untuk upaya pencegahan," ujarnya.

"Perlu pengawasan atau peran serta masyarakat, terutama masyarakat sekitar karena kejahatan narkoba sangat besar dipengaruhi lingkungan. Perlu kontrol sosial dari masyarakat. Kalau kontrolnya kuat, apa yang diinginkan oleh masyarakat, seperti terhindar dari bahaya narkoba bisa terbentuk," pungkas Guru Besar Hukum Pidana dan Kriminologi Fakultas Hukum Universitas Udayana Bali itu.

Pendekatan Pidana Penjara vs Rehabilitasi
Prof Rai menilai, pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalahguna narkoba belum maksimal diterapkan.

Ditetapkannya Undang-Undang nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika menjadi payung hukum untuk mencegah, melindungi dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari bahaya penyalahgunaan narkotika termasuk seharusnya menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalahguna narkotika.

"Penegak hukum harus lebih banyak merehabilitasi pecandu narkoba. Upaya rehab medis dan sosial bagi penyalahguna yang menjadi ikon UU 35/2009 untuk lebih banyak merehabilitasi bagi pecandu atau korban penyalahguna narkotika yang dulu dihukum penjara sekarang direhab," kata Prof Rai.

Dalam mekanisme pemberantasan narkoba, kata Prof Rai, masih terjadi benturan pedekatan kriminal pidana penjara dan pendekatan kesehatan berupa rehabilitasi.

Baca juga: Sopir Truk Ekspedisi Itu Merinding, Barang yang Diangkutnya ke Bali Ternyata Puluhan Kilogram Ganja 

"Rehabilitasi medis dipandang masih belum efektif berjalan. Sebab dari kasus narkotika yang ada, 90 persen jaksa menuntut hukuman pidana penjara sehingga jarang menuntut rehabilitasi, 10 persennya menuntut rehab," ujarnya.

Rehabilitasi medis kepada penyalahguna belum efektif juga terlihat dari data penelitian yang menyebutkan bahwa 94 persen hakim menjatuhkan vonis pidana penjara, dan hanya 6 persen menjatuhkan tindakan rehabilitasi. Itu pun hanya terhadap anak-anak.

"Itulah sebabnya penjara penuh 70-80 persen kejahatan narkotika," bebernya.

Albert Wirya dalam buku yang ia tulis berjudul Diujung Palu Hakim, Dokumentasi Vonis Rehabilitasi di Jabodetabek tahun 2014 diterbitkan oleh Lembaga Bantuan Hukum.

BNNP Bali saat melakukan pemeriksaan mobil ekspedisi yang membawa narkoba jenis ganja di Terminal Tipe A Mengwi pada Senin 14 Juni 2021.
BNNP Bali saat melakukan pemeriksaan mobil ekspedisi yang membawa narkoba jenis ganja di Terminal Tipe A Mengwi pada Senin 14 Juni 2021. (Tribun Bali/I Komang Agus Aryanta)

Dalam buku tersebut penulis menguraikan bahwa kasus narkotika yang mendapat putusan rehabilitasi tidak sesuai dengan harapan.

"Misal ada tuntutan rehab sebesar 71,4 persen namun yang diputuskan hanya 28,6 persen," kata Prof Rai.

Dan disebutkan dalam buku tersebut bahwa vonis rehabilitasi sangat terpengaruh ada atau tidaknya pengacara. Keberadaan pengacara dalam upaya rehab bertujuan meluruskan hukum melalui perdebatan di pengadilan terhadap sanksi rehab.

"Kemungkinan rehabilitasi 69,57 persen direhab bila ada pengacara. Kemudian juga keberadaan saksi ahli cukup berpengaruh. Kalau ada saksi ahli, kemugkinan rehab naik jadi 80 persen," tuturnya.

Sedangkan untuk bandar dan pengendali narkoba, Prof Rai tegas menyatakan harus dilakukan upaya tegas dengan memberikan ancaman hukuman mati.

"Kalau bandar, pengedar saya setuju hukuman mati. Tapi peredaran gelap masih sangat banyak karena keuntungannya luar biasa. Jadi saya setuju dilakukan hukuman mati sebagai penanggulangan represif," pungkasnya. (*)

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved