Berita Bali
Polda Bali dan Akademisi Gelar Diskusi Mencari Solusi Pro dan Kontra Sampradaya Non Dresta Bali
menggali masukan dari tokoh-tokoh dan akademisi terkait dengan permasalahan Sampradaya Non Dresta Bali.
Penulis: Adrian Amurwonegoro | Editor: Wema Satya Dinata
Pada kesempatan yang sama, Seorang Seniman, Sastrawan, Budayawan sekaligus Agamawan, yakni Dr. Dra. Anak Agung Sagung Mas Ruscita Dewi, M. Fil. H menjelaskan, bahwa Indonesia mengatur tentang kebebasan agama dan dalam Undang-Undang ada ikatan antara hak dan kewajiban yang hanya diambil sepotong-sepotong sebagai pembenar salah satu pihak saja.
"Kita menempatkan diri dalam menyikapi Sampradaya itu berada di hak dan kewajiban. Pemerintah dapat mengeluarkan aturan hukum sebagai rambu-rambu dalam bertindak," katanya.
Dosen, penulis, sekaligus pendharma wacana/penyuluh agama, I Kadek Satria, S. Ag., M. Pd. H menyampaikan, Sampradaya Non Dresta Bali maupun Hindu Dresta Bali sama-sama memiliki pembenaran pada ruangnya masing-masing yang harusnya agama untuk kedamaian diri.
Ia berpendapat, umat Hindu di Bali ada dalam kondisi terpojokkan oleh cara-cara hindu Bali sendiri, sehingga Hindu Bali kurang memahami agamanya sendiri dan mencari kemudahan dengan masuk Sampradaya, namun lupa diri terhadap agama aslinya.
"Jika Hindu Bali tidak menggunakan adat maka kebudayaan akan hilang. Kita harus mampu menguatkan hindu Bali ke dalam dan apabila Sampradaya Non Dresta silakan mendalami ajarannya tanpa mempengaruhi adat dan kebudayaan asli Dresta Bali," jelasnya.
Lanjut dia, perilaku agama membangun taksu Bali tidak bisa dilakukan oleh perilaku Sampradaya.
"Semakin kuat adat dan budaya maka semakin kuat agamanya, sehingga wajar Desa Adat menjaga kebudayaannya," kata dia.
Adat dan Kebudayaan memiliki kedudukan yang sama, sehingga perlu Awig/Parawem Desa Adat yang kuat melalui peran MDA untuk penguatan Awig/pararem.
Dalam kenyataan di lapangan, terkait penutupan Asram, kata dia, belum dilaksanakan langkah persuasif namun langsung tindakan represif.
"Saat ini tidak ada Figur Bali yang seperti Mpu Kuturan zaman dahulu, figur-firgur Bali saat ini sedikit mengeluarkan statement maka terjadi gejolak," ujarnya.
Baca juga: Banyak Desa Adat yang Menutup Ashram Sampradaya Non Dresta Bali, Begini Sikap Bendesa Agung MDA Bali
Seorang Dosen Bahasa Sanskerta, I Gde Widya Suksma, ST., M. Ag, menyampaikan, bahwa Pada tahun 1979, awalnya Hare Krisna diterima dengan baik di Bali, tapi pada kenyataannya Sampradaya Hare Krisna memunculkan sesuatu yang tidak sesuai/berbeda dengan dresta Bali.
"Dari pihak Sampradaya agar sadar diri untuk tidak menbuat penyataan maupun tindakan yang dapat membuat kisruh. Apabila dalam negoisasi dan penyelesaian Permasalahan tidak ditemukan jalan keluar maka hukum yang perlu dilalukam guna memberi batas-batas norma tertentu," paparnya.
Sedangkan, doaen yang juga penulis Dr. I Gusti Made Widya Sena, S.Ag., M.Fil.H, menyampaikan bahwa, melihat proses penyebaran Hindu mengunakan konsep ‘Bola Salju’ maka 2 hal yang terjadi adalah dimana semakin besar maka semakin menyerap segala sesuatu yang ada dalam perjalanan penyebaran agama.
"Perbedaan juga terjadi antara hindu Bali dengan wilayah lain. Hindu memiliki kebebasan jalan bakti untuk mencari jalan kebebasan sendiri-sendiri yang fleksibel dengan perkembangan jaman yang didasarkan pada keikhlasan dan pengorbanan sesuai dengan Weda," ucapnya.
Ia menjelaskan, bahwa konsep ajaran hindu di Bali menerapkan Siwa Sidanta, namun konsep Sampradaya lainnya memiliki konsep dan doktrin untuk mempertahankan konsep dan ideologi mereka.