Serba serbi
Lahir Tanpa Saudara hingga Wuku Wayang, Ini Alasan Mengapa Tumpek Wayang Jadi Hari Keramat
Tumpek Wayang sudah dikenal sejak dahulu, merupakan satu di antara hari suci yang keramat oleh umat Hindu di Bali.
Penulis: AA Seri Kusniarti | Editor: Ida Ayu Suryantini Putri
"Nah kebetulan adiknya memiliki syarat untuk bisa dimakan," jelas beliau.
Sehingga Bhatara Kala mengejar Hyang Kumara.
Dari sinilah awal kisah Tumpek Wayang lahir. Awalnya Hyang Kumara berlari ke sebuah tempat, yakni bambu yang berlubang. Bhatara Kala yang kelaparan, memasukkan mulutnya ingin menelan Hyang Kumara.
Beruntung Hyang Kumara berhasil kabur, dari lubang bambu yang satunya.
Kemudian Bhatara Kala mengeluarkan pastu, barangsiapa yang memotong bambu satu ruas sehingga berlubang atau bambu bolong, maka hidupnya akan memiliki masalah.
"Untuk itu, jika membuang bambu lebih baik dihancurkan terlebih dahulu," jelas beliau. Pelarian Hyang Kumara berlangsung hingga ke sebuah tungku perapian, atau yang disebut bungut paon. Dengan tiga lubang di atasnya, dan satu lubang di depan untuk tempat memasukkan kayu bakar.
Ketika berada di sana, Bhatara Kala berusaha untuk menangkap tetapi Hyang Kumara malah masuk dan lari lewat tungku yang lainnya.
Sejak saat itu, Bhatara Kala memastu barangsiapa yang tidak menutup tungku apinya dan membiarkan terbuka maka hidupnya akan boros.
Hyang Kumara kembali berlari, dan melihat ada ki dalang sedang mementaskan pertunjukan wayang.
Hyang Kumara bersembunyi di dekat banten dan gamelan yang kemudian diperciki tirta oleh ki dalang.
Bhatara Kala tetap mencarinya sembari memakan sesajen persembahan ki dalang untuk Bhatara Siwa.
Akhirnya karena tidak menemukan Hyang Kumara, dan memakan sesajen ki dalang. Bhatara Kala kemudian diancam akan dilaporkan kepada Dewa Siwa.
"Nah di sana terjadilah diskusi, diantara Bhatara Kala dan ki dalang," jelas beliau.
Akhirnya disepakati, bahwa Bhatara Kala tidak akan memangsa anak yang lahir pada wuku Wayang apabila telah menghaturkan banten dan pertunjukan wayang.
Banten dan pertunjukan tersebut kini dikenal dengan bayuh sapuh leger.