Berita Bali
Viral Kritik Pemerintah lewat Mural, Sosiolog Unud Beri Pandangan terhadap Fenomena Ini
Jagat maya dihebohkan dengan kemunculan sejumlah mural di beberapa titik wilayah, yang dinilai sarat akan kritikan terhadap pemerintahan di tengah PPK
Penulis: Adrian Amurwonegoro | Editor: Ida Ayu Suryantini Putri
Laporan wartawan Tribun Bali, Adrian Amurwonegoro
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Jagat maya dihebohkan dengan kemunculan sejumlah mural di beberapa titik wilayah, yang dinilai sarat akan kritikan terhadap pemerintahan di tengah masa Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) akibat pandemi Covid-19.
Sejumlah mural yang bermunculan dan viral di media sosial di antaranya mural bergambar mirip Presiden Jokowi dengan tulisan "404 Not Found" di Batu Ceper Tangerang, mural Tuhan Aku Lapar di Tigaraksa, Tangerang, mural Wabah Sesungguhnya Adalah Kelaparan di Ciledug, Tangerang, hingga mural Dipaksa Sehat di Negara Yang Sakit di Bangil, Pasuruan, Jawa Timur.
Setelah muncul dan viral di media sosial, mural-mural tersebut dihapus oleh aparat.
Baca juga: Krisdayanti Kritik Fasilitas Hotel Untuk Isolasi Mandiri Anggota DPR : Buang-buang Anggaran
Sosiolog Universitas Udayana Bali, Wahyu Budi Nugroho turut angkat bicara menyikapi fenomena itu, pertama-tama adalah tentang ruang publik.
Menurut Wahyu, ruang publik adalah ruang bagi setiap warga negara untuk melangsungkan diskusi kritis, bersifat terbuka dan tanpa paksaan.
Baca juga: Kritik dan Pujian Pelatih Timnas Hungaria Marco Rossi pada Sosok Cristiano Ronaldo
"Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, ruang publik berfungsi untuk mengritik dan mengawasi jalannya pemerintahan," kata Wahyu kepada Tribun Bali, Jumat 19 Agustus 2021.
Dia menjelaskan, ruang publik dapat dimisalkan lewat kolom-kolom media massa yang menyediakan ruang opini bagi masyarakat, program-program televisi yang memberikan kesempatan bagi penonton untuk ikut serta berdiskusi di dalamnya.
"Atau dalam bentuknya yang paling kekinian, ruang publik dapat berupa media sosial di mana setiap penggunanya (netizen) dapat mencurahkan beragam perasaan, pemikiran, atau kritiknya terhadap pemerintah," ujar Wahyu.
Umumnya, ketika ruang publik mengalami kebuntuan atau dinilai tidak representatif lagi untuk menyampaikan kritik, maka kritik tersebut akan disampaikan lewat wahana atau media lain, misalnya lewat musik, kaos, lukisan, atau bisa juga mural.
Baca juga: Arti 404: Not Found di Mural Jokowi, Roy Suryo: Tidak Ditemukan Setelah Dicari Terus
"Akan tetapi, kritik melalui serangkaian media tersebut bukan berarti juga ruang publik telah mengalami kebuntuan, hal ini juga dipengaruhi oleh kapabilitas seseorang dalam menyampaikan kritik," katanya
Wahyu menilai, seseorang yang membuat kritik lewat mural, boleh jadi memiliki beberapa pertimbangan.
Pertama, mereka (pelaku mural,-red) kurang mampu menyampaikan kritik secara tertulis, jika kritik itu hendak disampaikan lewat media massa atau media sosialnya sendiri.
Kedua, kurangnya kapabilitas mengomunikasikan kritik secara lisan, hal ini bisa juga disebabkan oleh keterbatasan instrumen yang dimiliki.
Ketiga, anggapan memang telah buntunya media massa dan media sosial sebagai sarana menyalurkan kritik.