Serba serbi

Terkendala Suara, Begini Kisah Dewa Mangku Dalang Samerana Menjadi Dalang 

Dewa Mangku Dalang Samerana, memiliki kisah tersendiri sampai akhirnya menjadi seorang dalang wayang di Bali.

Istimewa
Dewa Mangku Dalang Samerana saat mementaskan wayang sebagai dalang di beberapa upacara Hindu di Bali. 

“Kalau lahir di Redite Wayang ya harus di Redite Wayang dibayuh,” jelasnya. Pasalnya, dewa atau bhatara dari masing-masing hari kelahiran wuku Wayang itu berbeda-beda. Sehingga  upacara dan upakaranya pun juga berbeda-beda sesuai dengan Saptawara dan Pancawara.

Atribut dan sarana-prasarana sapuh leger juga harus jelas.

“Yang diruwat menduduki padi sepingan. Nah apabila perempuan maka dia mengabin di atas pahanya ditaruh alat-alat tenun, jantra, anggapan. Apabila yang laki-laki membawa pemutik dengan alat-alat carik seperti arit, tenggala dan lain sebagainya sesuai sarana upakara,” sebutnya.

Lalu ada gedebong biyu kayu, yang ngatut pusuh dan ngatut bungkil.

Banten upakaranya pun berbeda, karena memakai tebasan sapuh leger, tebasan sungsang sumbel, tebasan katadah kala, tebasan kala melaradan, kedenga-kedengi dan sebagainya.

“Inilah yang seharusnya ditatab oleh orang yang otonan,” imbuhnya.

Berbeda pula dengan bebayuhan melik, baik melik ceciren dan sebagainya tentu dengan upakara dan upacara yang berbeda dengan bayuh seperti bayuh sapuh leger.

Untuk yang melik, salah pati, ulah pati, maka disebut bayuhan sudamala atau panglukatan dasa mala.

Dewa Mangku Dalang Samerana, menambahkan untuk sapuh leger wuku Wayang sesuai dengan hari kelahirannya.

Sebab ada banten tebasan redite, soma, dan lainnya hingga saniscara dengan banten upakara tersendiri. Hal ini juga sesuai dengan urip, karena ada penebusan tiga atau tujuh, dan sebagainya.

Semisal panebusan tujuh, maka sarananya menggunakan telur 7 butir, kelapa 7 buah, dan semua sarananya berjumlah 7 atau disebut soroh pitu.

“Lalu apabila lahir Paing, maka disebut soroh sia atau sembilan. Maka memang semuanya disesuaikan dengan urip dari masing-masing kelahiran wuku Wayang ini,” tegasnya. Untuk dikenallah bayuh oton atau bayuh kelahiran.

Lanjutnya, apabila lahir Soma Kliwon maka harus saat Soma Kliwon dibayuh tidak di Soma Paing.

“Istilahnya upakara dan upacara untuk manusia, pitra, dan bhuta memang tidak boleh sembarangan,” jelasnya.

Seperti apabila carunya putih maka arahnya ke timur (kangin), kemudian caru ke selatan (kelod) harus biing (merah). Tidak boleh sembarangan, sebab masing-masing telah ada fungsi dan kegunaannya tersendiri. (*)

Artikel lainnya di Serba serbi

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved