Berita Gianyar

Parta Atensi Masalah Adat di Jero Kuta Pejeng Gianyar, Minta Pemerintah dan Aparat Lindungi Krama

Anggota DPR RI, I Nyoman Parta memberikan atensi kasus antara krama (warga) dan prajuru Desa Adat Jero Kuta Pejeng Gianyar

Penulis: I Wayan Eri Gunarta | Editor: Irma Budiarti
Istimewa
Anggota DPR RI I Nyoman Parta. Anggota DPR RI, I Nyoman Parta memberikan atensi kasus antara krama (warga) dan prajuru Desa Adat Jero Kuta Pejeng Gianyar. 

TRIBUN-BALI.COM, GIANYAR - Anggota DPR RI, I Nyoman Parta memberikan atensi kasus antara krama (warga) dan prajuru Desa Adat Jero Kuta Pejeng, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar, Bali.

Dalam hal ini, politikus PDIP asal Sukawati ini menegaskan pihaknya berada di belakang krama yang berseberangan dengan prajuru, dalam hal ini Bendesa Adat Jero Kuta Pejeng, Cokorda Gede Putra Pemayun. 

Kepada wartawan, Senin 11 Oktober 2021, Parta mengatakan, ia telah mengetahui permasalahan ini sejak lama.

Bahkan pada 19 Mei 2021 lalu, ia didatangi krama yang mewakili 70 song atau rumah yang di dalamnya dihuni 1.120 jiwa.

Dalam pertemuan tersebut, mereka menyampaikan setuju dan mendukung tanah ayahan desa disertifikatkan menjadi milik desa adat. Namun itu hanya tanah sikut satak atau tanah berdirinya bangunan adat.

Baca juga: Desa Adat Jero Kuta Pejeng Memanas,Pasca Bendesa Ditetapkan Tersangka,2 Krama Diusir dari Tanah Adat

"Krama adat yang datang keberatan di luar tanah ayahan desa, yaitu tanah milik yang sudah didiami dan dikuasai secara turun termurun dan sudah ber-SPPT mereka juga punya pipil dan persil.

Namun saat pogram PTSL tanah-tanah yang sudah ber-SPPT itu tersertifikat atas nama desa adat," ujar Parta.

"Mereka saat itu menyampaikan, saat pogram PTSL dilaksanakan, tidak dilakukan sosialisasi ke mereka.

Mereka juga menyampaikan, dalam pensertifikatan tersebut, di Pejeng sendiri, ada kondisi tanah yang sama dengan mereka, seperti memiliki pipil, persil, dan SPPT banyak yang mendapatkan sertifikat hak milik.

Kenapa terhadap mereka seluruhnnya disertifikatkan atas nama desa adat, perbedaan ini membuat mereka berkeberatan," ungkap Parta.

Sebelum keberangkatan tersebut dibawa ke kepolisian, kata Parta, krama mengatakan telah meminta adanya mediasi. Namun saat itu tidak ada solusi, dan akhirnya dibawa ke kepolisian. 

"Saya telah mempelajari kasus ini, saya memberikan dukungan kepada kepala keluarga yang memperjuangkan hak-haknya.

Saya mohon kepada pemerintah maupun pihak kepolisian agar memberikan perlindungan kepada mereka," tandasnya.

Parta mengatakan, dengan berstatus tersangkanya Bendesa Jero Kuta Pejeng, hal tersebut mengindikasikan proses pensertifikatan itu cacat hukum, sehingga apa yang dilakukan krama yang keberatan ini adalah benar. 

"Dengan demikian sanksi Kanoroyang atau kesepekan tidak pas ditimpakan kepada mereka. Kasus ini sangat sederhana.

Baca juga: Dari Xpander hingga Fortuner Jadi Lapak Pedagang di Gianyar

Jika saja bendesa mau menyampaikan ada kekeliruan pembuatan PTSL tanah PKD (pekarangan desa) sampai ada yang masuk sebagai tanah milik pribadi ke BPN (Badan Pertanahan Nasional), BPN pasti mau mengubah," ujarnya.

Dalam mengantisipasi keputusan yang tidak demokratis, Parta meminta pada prajuru Desa Adat Jero Kuta Pejeng untuk menghentikan pengambilan keputusan 'briuk siu'.

"Desa adat harus menghentikan cara-cara paruman briuk siu dalam mengambil keputusan," tandasnya.

Diberitakan Tribun Bali sebelumnya, kasus pelaporan prajuru Desa Adat Jero Kuta Pejeng, Kecamatan Tampaksiring, Gianyar, Bali semakin memanas, Minggu 10 Oktober 2021.

Dimana prajuru adat bersama krama (warga) setempat menggelar rapat, memutuskan dua orang krama yang melaporkan Bendesa Adat Jero Kuta Pejeng, Cokorda Gede Putra Pemayun hingga saat ini menjadi tersangka di Polres Gianyar, mendapatkan sanksi pengusiran dari tanah adat.

Dua orang tersebut adalah mereka yang sebelumnya dikenakan sanksi kanorayang akibat melaporkan prajuru setempat karena tidak terima tanah teba (belakang rumah) disertifikasi atas nama milik desa adat.

Dalam rapat tersebut terungkap, dua krama Desa Adat Jero Kuta itu diberi waktu hanya dalam dua minggu untuk mengemasi barang-barangnya dari pekarangan adat yang ditempati secara turun-temurun. 

Bila dalam hitungan dua minggu masih berdiam diri, maka pekarangannya akan dieksekusi oleh adat dan diusir secara paksa.

Selain membacakan keputusan adat untuk dua krama ini, prajuru yang mendapat dukungan sebagian besar krama Desa Adat Jero Kuta Pejeng ini, juga membacakan sanksi untuk 160 kepala keluarga (KK) atau 80 song (rumah pekarangan adat), diberikan sanksi tidak mendapatkan pelayanan adat selama dua bulan.

Dalam hal tersebut, prajuru setempat menegaskan tidak akan menolerir sanksi yang telah dikeluarkan. Sebab toleransi itu dinilai melanggar hukum adat yang bisa menjerat prajuru itu sendiri.

Baca juga: Perampokan di Bangli Ternyata Rencana Menantunya, Nyoman Nila Terus Proses Hukum: Biar Dia Belajar

Dimana ketika prajuru tidak mematuhi aturan tersebut, maka mereka bisa kena sanksi dua kali lipat dari krama yang dikenakan sanksi.

Dalam pembacaan sanksi ini, ada warga yang ingin membela krama yang dikenakan sanksi. Sontak, krama yang berada di pihak desa adat naik pitam.

Dimana krama yang keberatan tersebut hampir menjadi bulan-bulanan kekesalan krama yang berada di pihak adat.

Beruntung, pihak keamanan berhasil menenangkan situasi, hingga rapat adat bisa selesai kondusif, tanpa adanya korban fisik.

Bendesa Adat Jero Kuta Pejeng Cokorda Gede Putra Pemayun dalam paruman (rapat) tersebut mengungkapkan, atas laporan sejumlah warga tersebut, ia kini ditetapkan tersangka oleh pihak kepolisian.

Namun pria yang sebelumnya menjabat anggota DPRD Gianyar ini menegaskan, pihaknya tidak gentar menghadapi kasus hukum, sebab apa yang dilakukannya merupakan kepentingan adat.

“Saya sudah ditetapkan sebagai tersangka dengan kesalahan yang tidak saya ketahui hingga hari ini. Namun saya tidak akan merasa jerih (takut) untuk mempertahankan tanah adat  dalam rangka mengajegkan Desa Adat Jero Kuta Pejeng,”  ujarnya.

Di hadapan krama ia menegaskan, ia tidak ingin disebut melaksanakan keputusan adat secara sepihak atau golongan, karena saksi setiap krama ini akan benar-benar dilaksanakan.

"Dalam perarem ini, ditegaskan bahwa krama yang sebelumnya dikenakan sanksi kanorayang, diberi batas dua minggu untuk meninggalkan tanah adat yang selama ini ditempatinya. 

Jika tidak dilaksanakan, maka prajuru bersama krama dengan berkoordinasi dengan aparat keamanan akan melakukan tindakan tegas dengan mengambilalih tanah adat tersebut," ujarnya.

"Saya tegaskan dalam pelaksanaan pereram ini, krama tidak boleh melakukan tindakan–tindakan yang melanggar hukum, seperti pengrusakan atau yang lainnya,” imbaunya.

(*)

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved