Serba serbi

Kisah Dewa Mangku Dalang Samerana Ngewayang Calon Arang, Jelaskan Ritual Pemanggilan Leak

Dalam pementasan calon arang di Bali, kerap ditemui sesi pemanggilan leak. Sesi ini tentu saja, menjadi sesi yang seru dan ditunggu banyak pihak

Tribun Bali/AA Seri Kusniarti
Dewa Mangku Dalang Samerana 

"Kala itu saya mengambil cerita Madu Segara, asal mula sebelum bernama Larung," sebutnya.

Sekilas kisahnya, Madu Segara yang difitnah masyarakat bisa ngeleak akhirnya marah dan malah ingin benar-benar belajar ngeleak. Namun ketika di setra, Walunata Dirah bertemu dengan Madu Segara dan tidak mengizinkannya belajar ngeleak. Akhirnya dibunuhlah suaminya Madu Segara, dan ia pun sedih lalu meminta kepada Bhatari Durga di prajapati yang kemudian dianugerahi 11 tingkat pangleakan. 

"Tingkat bernama Aji Rim-rim yang paling tinggi," katanya. Perubahan leak itu seperti menjadi blego dawa, ada pula berubah menjadi sampian mas, canting mas, dan sebagainya. "Memang benar seseorang yang bisa ngeleak pada tingkat sampian mas itu adalah ilmu leak tingkat tinggi atau istilahnya sudah nyari," sebut Dewa Mangku.

Nyari di sini adalah pangleakan itu sudah tidak membunuh. Sebab menjadi leak sari, maka nunas ica di pura bale agung menggunakan banten kusuma jati dan madasar sanggah cucuk dari tiing ampel gading dengan banten yang spesifik. 

Kemudian leak itu meminta anugerah dari Bhatara Brahma, dengan wujud leaknya menjadi monyet putih, garuda putih, dengan tujuan menyelamatkan masyarakat. Dan setiap sebulan sekali harus rapat di Gunung Agung leak sari ini. Ada pula pangleakan di perempatan, prajapati, dan lain sebagainya.

"Belajar leak tidaklah mudah, seperti membalikkan telapak tangan," tegasnya. Lanjutnya, seseorang yang belajar dan bisa ngeleak biasanya memasang panyengker dalam radius 100 meter. 

Selain kisah unik, ia pun pernah mengalami kisah yang mendebarkan bahkan nyaris mempertaruhkan nyawa saat mendalangi wayang calon arang.

Sebab dalam suatu wilayah di Klungkung, tatkala ia mementaskan wayang calon arang.

"Kala itu ngewayang di pura puseh, dan baru saja saya nunas ica menancapkan dupa banyak anjing mengaung di berbagai sudut dengan ditemani hujan gerimis," ucapnya. Inilah cobaan sebagai dalang wayang calon arang yang kerap diuji nyalinya.

"Seminggu sebelum pentas, saya menghaturkan pejati di berbagai tempat. Baik di pura dalem, di prajapati, setra pamuun, saya datang sendiri pada jam 12 malam. Meminta agar dilindungi, dan tiba-tiba saja rumput yang saya duduki hidup bergerak sendiri tanpa hembusan ada angin," jelasnya. 

Kisah paling aneh juga terjadi di perempatan wilayah Klungkung, saat ia menjadi dalang wayang calon arang.

Sebab waktu itu, secara sekala-niskala tempat yang menjadi lokasi acara tidak sesuai dengan aturan yang benar untuk pertunjukan wayang.

Biasanya wayang menghadap ke timur atau ke utara, namun saat itu wayang malah menghadap ke barat (perempatan) membelakangi pura.

"Tidak ada taring di atas kepala, hanya beratapkan langit. Begitu saya duduk keluar keringat dingin dari badan saya, padahal cuaca tidak panas," katanya. Tentu saja karena kondisi yang demikian, ia meminta bantuan sang malen untuk melindungi dan demi kelancaran acara ketika ngewayang. (*)

Artikel lainnya di Serba serbi

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved