Berita Bali
Fenomena Bangun Krematorium, MDA Provinsi Bali Sebut Tak Jadi Masalah Asal Dikelola Desa Adat
Banyaknya fenomena desa adat yang kini membuat krematorium, turut pula menjadi sorotan Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali.
Penulis: AA Seri Kusniarti | Editor: Noviana Windri
Laporan Wartawan Tribun Bali, Anak Agung Seri Kusniarti
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Banyaknya fenomena desa adat yang kini membuat krematorium, turut pula menjadi sorotan Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali.
Tribun Bali berhasil mendapat tanggapan dari, Patajuh Bendesa Agung Bidang Seni, Agama, Adat, dan Tradisi MDA Bali, Gusti Made Ngurah.
Pada dasarnya ia setuju saja dengan pembuatan krematorium ini.
Terlebih jika krematorium itu, dikelola oleh desa adat untuk melayani warga di desa adat.
"Asal sudah sesuai dengan awig-awig di desa adat, maka hal itu sah-sah saja. Yang masalah itu kan, apabila dibisniskan tetapi desa adatnya sendiri tidak tahu," jelasnya, Minggu 5 Desember 2021.
Baca juga: Desa Adat Denpasar Gelar Nangluk Merana di Perempatan Gajah Mada, Upacara Disederhanakan
Baca juga: UNHI Denpasar Gelar FGD Potensi Ekonomi Desa Adat, 6 Sektor Unggulan Ini Jadi Andalan
Baca juga: Wawali Arya Wibawa Hadiri Tradisi Ngerebong di Desa Adat Kesiman
Hal tersebut tentu akan merugikan, dan lambat laun menjadi masalah di desa adat.
Berbeda apabila desa adat yang mengetahui, membuat, dan menjalankan sesuai awig-awig tentu akan lebih baik.
"Harus dilihat konteksnya bahwa itu untuk desa adat itu sendiri, bukan untuk keuntungan pribadi atau golongan," ucapnya.
Apalagi berlomba membuat itu (krematorium), untuk bisnis dan menarik untuk upacara ngaben dari desa adat yang lain untuk ke krematorium tersebut.

Tentu bisa menimbulkan polemik ke depannya.
"Sebab nanti bisa menyebabkan masyarakat yang mau ke krematorium di desa adat sebelah, malah bandel dan tidak mau ikut ngayah di desa adatnya. Karena merasa saat dia meninggal sudah ada krematorium," tegasnya.
Perlu diingat, ujar dia, tujuan krematorium adalah memudahkan prosesi ngaben.
Bukan untuk menghilangkan rasa kebersamaan dan persatuan di dalam desa adat itu sendiri.
"Desa adat berhak mengatur itu semua, supaya masyarakat tertib, kerta, dan sebagainya. Tidak diikutcampurkan oleh lembaga di luar desa adat," jelasnya.
Baca juga: Massa Desa Adat Guwang Datangi Bupati Gianyar, Minta Kejelasan Sikap Terkait Gugatan Tanah Guwang
Baca juga: Cegah Klaster Hari Raya, Satgas Desa Adat Buleleng Terjunkan 14 Personel Awasi Pusat Keramaian
Baca juga: Dua Pengurus LPD Desa Adat Tuwed Ditahan Kejari Jembrana Terkait Dugaan Kasus Korupsi
Hal ini sesuai dengan istilah desa mawacara dan Bali mawacara. Lanjutnya, kalau dalam desa mawacara berarti segala urusan adat yang tujuannya untuk meningkatkan kesejahteraan krama adat, termasuk kerta (keadaan damai). Itu semua dipersilakan dan diatur langsung oleh pararem atau awig-awig di desa adat.
"Nah nanti kalau ada masalah-masalah yang ada kepentingannya untuk tingkat provinsi, semisal menyalurkan aspirasi ke gubernur atau ada perintah dari Jakarta. Maka itu tugas daripada majelis dalam naungan Bali mawacara," sebutnya.
Untuk itu, kata dia, majelis memegang kewenangan Bali mawacara dan desa adat atau desa pakraman memiliki kewenangan bernama desa mawacara.
Krematorium sangat penting dan sangat erat kaitannya dengan upacara ngaben di Bali.
Pada dasarnya, baik memakai ataupun tidak memakai krematorium semuanya adalah sama.
Hanya saja krematorium, imbuh dia, kini dibuat untuk lebih memudahkan masyarakat dalam upacara pengabenan.
Namun perlu diingat, dengan hal itu masyarakat Hindu di Bali maupun Nusantara harus tetap menjaga dan mempertahankan desa adat yang merupakan warisan dan bagian dari budaya agama Hindu yang adiluhung. Khususnya dalam kehidupan bermasyarakat di Bali.