Serba Serbi

Perkawinan Nyentana dan Pada Gelahang, Begini Penerapannya di Bali

Prof Windia, menambahkan sistem kekerabatan yang dianut warga masyarakat adat Bali adalah sistem kekerabatan patrilenial (kapurusa)

Penulis: AA Seri Kusniarti | Editor: Wema Satya Dinata
Tribun Bali/Istimewa
Ilustrasi pernikahan 

Laporan Wartawan Tribun Bali, Anak Agung Seri Kusniarti

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Dalam masyarakat adat Bali, perkawinan dikenal dengan beberapa istilah seperti pawiwahan, nganten, makerab kambe, pewarangan, dan lain sebagainya.

Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, tentang perkawinan. Diartikan sebagai ikatan lahir dan batin, antara seorang pria dengan seorang wanita yang sah sebagai suami-istri, dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974).

Hal ini dijelaskan Guru Besar Ilmu Hukum Adat Universitas Udayana, Prof. Dr. Wayan P. Windia, SH.,M.Si.

Lanjut dosen dari Ubud ini, tujuan perkawinan dalam ajaran Hindu adalah untuk mendapatkan anak (keturunan).

Baca juga: Kadek Novinda Cerita tentang Kegalauan Gadis Bali Mencari Suami Nyentana

Prof Windia, menambahkan sistem kekerabatan yang dianut warga masyarakat adat Bali adalah sistem kekerabatan patrilenial (kapurusa).

Sejalan dengan itu, maka sistem kekerabatan yang dianut di Bali dikenal dengan dua bentuk perkawinan.

Pertama adalah perkawinan biasa, dan yang kedua adalah perkawinan nyentana.

"Bentuk perkawinan nyentana sesungguhnya adalah jalan alternatif, yang dapat dilewati oleh pasangan suami istri yang biasanya kebetulan hanya dikaruniai anak perempuan saja dan tidak dikaruniai anak laki-laki," jelas dosen Fakultas Hukum, Unud ini.

Bila dalam perkawinan biasa, mempelai pria berkedudukan sebagai kapurusa.

Maka pada perkawinan nyentana, mempelai wanita yang berkedudukan sebagai kapurusa (purusha).

Sehingga dalam perkawinan nyentana, pihak pria yang meninggalkan rumahnya untuk dipinang dan tinggal di rumah si wanita.

Demi meneruskan garis keturunan keluarga si wanita agar tidak putung (putus).

Namun apabila pasangan calon suami istri, sama-sama merupakan anak tunggal di rumahnya. Atau salah satu pihak keberatan dengan pernikahan nyentana.

Maka bisa dengan mengambil alternatif perkawinan pada gelahang.

Baca juga: Selain Perkawinan Nyentana, Bisa Pada Gelahang, Ahli Hukum Adat Prof Windia Beri Pandangan ini

Halaman
12
Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved