Berita Nasional
Karyawan Resign Tak Dapat JKP & JHT, Mayoritas Buruh Klaim JHT Rp 7,5 Juta Masa Kerja 3-4 Tahun
Stafsus Kemenaker menjelaskan jika 66 persen klaim JHT BPJS Ketenagakerjaan nilainya kurang dari Rp 10 juta per pekerja.
Penulis: I Putu Juniadhy Eka Putra | Editor: Noviana Windri
Dia menambahkan, JKP ini program tambahan baru, di mana bertujuan supaya tidak ada penumpukan dari manfaat jaminan sosial yang ada.
"Karena itu, JHT dikembalikan ke prinsipnya yaitu sebagai jaminan hari tua, diambil saat usia 56 tahun. Namun, bisa juga diambil pada 10 tahun setelah mengiur, tapi dalam jumlah terbatas," pungkasnya.
ASPEK Minta Permenaker Nomor 2/2022 Dibatalkan
Menanggapi Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 tentang tata cara dan persyaratan Pembayaran Program JHT yang baru bisa dicairkan pada usia 56 tahun, dengan terbitnya aturan tersebut, maka Permenaker 19 tahun 2015 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.
Menanggapi hal tersebut, Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (Aspek) Mirah Sumirat mengatakan, Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 19 tahun 2015, sesungguhnya telah sesuai dengan Undang Undang Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), sehingga tidak perlu dilakukan perubahan.
Baca juga: Menko Airlangga Hartarto: Seluruh Pekerja di Sektor Formal Dilindungi JKP dan JHT Sekaligus
Baca juga: CAIR SAAT Usia 56 Tahun, Berikut Ini Jumlah Uang Investasi JHT Pekerja di BP Jamsostek
Baca juga: Soal Aturan Baru Pencairan JHT saat Usia 56 Tahun, Asosiasi Serikat Pekerja: Jangan Sampai Merugikan
“Dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 19 Tahun 2015, setiap pekerja yang berhenti bekerja karena mengundurkan diri maupun karena terkena PHK, memiliki hak untuk memilih apakah akan mencairkan manfaat JHT pada saat berhenti bekerja, atau pada saat memasuki usia pensiun,” kata Mirah dalam keterangan tertulisnya dikutip Tribun-Bali.com dari Kontan.co.id pada Rabu 16 Februari 2022 dalam artikel berjudul Serikat Pekerja Tetap Minta Permenaker Nomor 2/2022 Tentang JHT Dibatalkan.
Menurut Mirah, Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 19 Tahun 2015 sesungguhnya tidak bertentangan dengan Undang Undang Nomor 40 Tahun 2004, dengan pertimbangan.
Yakni pada Pasal 1 ayat 8; Peserta adalah setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia, yang telah membayar iuran.

Pasal 1 ayat 9; Manfaat adalah faedah jaminan sosial yang menjadi hak peserta dan/atau anggota keluarganya.
Pasal 1 ayat 10; Iuran adalah sejumlah uang yang dibayar secara teratur oleh peserta, pemberi kerja, dan/atau Pemerintah.
Dari uraian Pasal 1 ayat 8, 9 dan 10 UU No 40 Tahun 2004 di atas, tegas dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan ‘Peserta’ adalah setiap orang yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia yang telah membayar iuran.
“Artinya, pekerja yang mengundurkan diri dan diputus hubungan kerjanya (PHK) tidak lagi masuk dalam kategori ‘peserta’, karena ia sudah tidak bekerja dan berhenti membayar iuran. Sehingga seharusnya pekerja dimaksud tetap diberikan hak untuk memilih kapan akan mengambil manfaat JHT,” terang Mirah.
Baca juga: Anggota DPR Desak Permenaker Soal Pembayaran JHT Dicabut, Netty Sebut Isinya Tunjukkan Ketidakpekaan
Mirah mengatakan, komposisi iuran JHT BPJS Ketenagakerjaan dibayarkan oleh pekerja melalui pemotongan gaji setiap bulannya sebesar 2 persen dari upah sebulan dan 3,7 persen dari upah sebulan dibayar oleh pemberi kerja atau perusahaan.
“Dalam dana JHT dimaksud, tidak ada keikutsertaan dana dari Pemerintah. Sehingga tidak ada alasan untuk Pemerintah “menahan” dana JHT dimaksud,” ujar Mirah.
Mirah menuturkan, kondisi faktual saat ini, banyak korban PHK dengan berbagai penyebab, yang membutuhkan dana JHT miliknya untuk memenuhi kebutuhan hidup atau memulai usaha setelah berhenti bekerja.