Berita Bali

Rangkaian Hari Raya Nyepi dan Maknanya, Upacara Melasti, Pengerupukan hingga Ngembak Geni

Pada hari Nyepi, suasana sekitar seperti mati, karena tidak ada kesibukan aktivitas seperti biasa. Selain itu, bagi yang mampu, juga melaksanakan tapa

Editor: Noviana Windri
Tribun Bali/I Nyoman Mahayasa
Perlombaan ogoh-ogoh di Pusat Kota Semarapura 

Umat Hindu percaya, laut atau danau adalah sumber air suci (tirta amerta) dan bisa menyucikan segala leteh (kotor) di dalam diri manusia dan alam.

Kemudian, sehari sebelum Nyepi, yaitu pada "tilem sasih kesanga" (bulan mati yang ke-9), umat Hindu melaksanakan upacara Buta Yadnya di segala tingkatan masyarakat.

Buta Yadnya dilakukan mulai dari masing-masing keluarga, banjar, desa, kecamatan, dan seterusnya, dengan mengambil satu dari jenis-jenis caru (semacam sesajian) menurut kemampuannya.

Buta Yadnya itu masing-masing bernama Pañca Sata (kecil), Pañca Sanak (sedang), dan Tawur Agung (besar).

Baca juga: Nyepi Jadi Sarana Mulat Sarira, Berikut Rentetan Perayaannya

Baca juga: Pimpinan dan Anggota DPRD Kabupaten Badung mengucapkan Selamat Hari Raya Nyepi

Tawur

Ritual Mapepada Wewalungan sehari sebelum Upacara Tawur Agung Kesanga di Klungkung tahun 2020 lalu. Upacara ini dilaksanakan serangkaian Hari Raya Nyepi yang dilaksanakan setiap tahun di Pusat Kota Semarapura.
Ritual Mapepada Wewalungan sehari sebelum Upacara Tawur Agung Kesanga di Klungkung tahun 2020 lalu. Upacara ini dilaksanakan serangkaian Hari Raya Nyepi yang dilaksanakan setiap tahun di Pusat Kota Semarapura. (Tribun Bali/Eka Mita Suputra)

Tawur memiliki arti dalam bahasa Jawa sama dengan saur, dalam bahasa Indonesia berarti melunasi utang.

Di setiap catus pata (perempatan) desa atau pemukiman mengandung lambang untuk menjaga keseimbangan.

Tawur atau pecaruan sendiri merupakan penyucian/pemarisuda Buta kala, dan segala leteh (kekotoran) diharapkan sirna semuanya.

Caru yang dilaksanakan di rumah masing-masing terdiri dari nasi manca (lima) warna berjumlah 9 paket beserta lauk pauknya, seperti ayam brumbun (berwarna-warni) disertai tetabuhan arak/tuak.

Buta Yadnya ini ditujukan kepada Sang Buta Raja, Buta Kala, dan Batara Kala, dengan memohon supaya mereka tidak mengganggu umat.

Pengerupukan

Banjar Poh Gending, Desa Pitra, Kecamatan Penebel, Tabanan, saat malam pengerupukan memiliki sebuah tradisi yang berbeda dengan daerah lainnya. Adalah tradisi
Banjar Poh Gending, Desa Pitra, Kecamatan Penebel, Tabanan, saat malam pengerupukan memiliki sebuah tradisi yang berbeda dengan daerah lainnya. Adalah tradisi "Siat Sambuk" yang bertujuan untuk nyomya butha kala saat malam Tilem Kasanga. (Banjar Poh Gending)

Kemudian, Mecaru diikuti oleh upacara pengerupukan, yaitu menyebar-nyebar nasi tawur, mengobori-obori rumah dan seluruh pekarangan, menyemburi rumah dan pekarangan dengan mesiu, serta memukul benda-benda apa saja (biasanya kentongan) hingga bersuara ramai/gaduh.

Tahapan ini dilakukan untuk mengusir Buta Kala dari lingkungan rumah, pekarangan, dan lingkungan sekitar.

Khusus di Bali, pengrupukan biasanya dimeriahkan dengan pawai ogoh-ogoh yang merupakan perwujudan Buta Kala yang diarak keliling lingkungan, dan kemudian dibakar.

Tujuannya sama, yaitu mengusir Buta Kala dari lingkungan sekitar.

Halaman
123
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved