Serba serbi
Tidak Boleh Membaca Saat Saraswati, Berikut Penjelasan Ida Rsi Bhujangga
Sejak lama ada mitos di tengah-tengah masyarakat Hindu, bahwasanya saat hari suci Saraswati seseorang tidak diperkenankan membaca buku atau belajar.
Penulis: AA Seri Kusniarti | Editor: Ida Ayu Suryantini Putri
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Sejak lama ada mitos di tengah-tengah masyarakat Hindu, bahwasanya saat hari suci Saraswati seseorang tidak diperkenankan membaca buku atau belajar.
Namun sejatinya, makna di balik mitos tersebut tidaklah demikian. Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Putra Sara Shri Satya Jyoti, mengatakan agar mitos tidak ditelan mentah-mentah.
Menurut beliau, orang tua pada zaman dahulu membuat mitos pasti ada tujuannya.
Perlu diketahui mitos atau mite, adalah bagian dari folklore, dan kebanyakan berlatar belakang kisah masa lampau.
Isinya adalah tafsiran-tafsiran tentang alam semesta, dan kerap diasosiasikan benar-benar terjadi oleh yang memiliki cerita.
Ida rsi menjelaskan, bahwa mitos dibuat untuk memudahkan penyebaran informasi dan bercerita kepada khalayak umum.
Baca juga: 2.000-an Buku di Perpus Desa Sumerta Kelod Diupacarai Saat Saraswati, Punya Koleksi Paling Banyak
Sama halnya, dengan mitos saat Saraswati tidak boleh membaca atau sembahyang tentu saja ada makna di baliknya.
"Maksudnya saat itu adalah agar masyarakat terlebih dahulu menjalankan yadnya, apalagi saat hari suci Saraswati. Setelah itu baru mengambil kegiatan lain, seperti membaca dan sebagainya," jelas beliau kepada Tribun Bali, Sabtu 26 Maret 2022. Mitos kerap dipakai bercerita, karena dianggap lebih mudah dimengerti secara umum.
Mitologi Saraswati lainnya, adalah datang dari kisah kerajaan Jalasanggara yang diperintah oleh Dewi Sinta dan Dewi Landep.
Para permaisuri ini memerintah, setelah ditinggalkan oleh sang raja bernama Dang Hyang Kulagiri. Sang prabu hilang tak pernah kembali, setelah pergi bertapa ke hutan.
Singkat cerita, Dewi Sinta pun memiliki ptera bernama Raden Wudug atau Redite.
Tatkala masih kecil, Raden Wudug pergi ke hutan karena kesal dimarahi oleh Dewi Sinta dan dipukul kepalanya dengan pengaduk nasi.
Raden Wudug yang mengembara, akhirnya lambat laun tumbuh dewasa. Ia pun hendak menemui sang ayah, namun apa daya tidak jua ada hasilnya. Pemuda ini pun bertapa dengan teguh, hingga akhirnya mendapat anugerah Dewa Siwa.
Baca juga: Makna Dewi Saraswati di Dalam Weda, Nama Sungai hingga Pusat Kesuburan dan Kesucian
Tapanya yang teguh dan kokoh seperti gunung, membuat namanya berganti menjadi Sang Watugunung. Anugerah yang didapatkannya adalah bisa mengalahkan 27 orang raja, sesuai dengan permohonan Watugunung sendiri.
Namun setiap kekuatan pasti ada kelemahan, dan Dewa Siwa mengatakan bahwa Watugunung akan bisa dikalahkan oleh seseorang dengan Triwikrama berwujud kura-kura.
Begitulah manusia, tatkala memiliki kekuatan terkadang menjadi jumawa dan lupa diri. Hal inipun terjadi pada Watugunung, dan ia terus mencoba kesaktiannya saat meninggalkan tempat pertapaan dan menuju ke pemukiman warga.
Sikapnya yang arogan dengan kekuatan besar, benar-benar membuat Watugunung lupa diri. Satu per satu raja dikalahkan, dan membuat rakyatnya sengsara.
Ia telah berhasil mengalahkan 26 raja, sampai akhirnya tiba di Jalasanggara yang tiada lain adalah rumahnya sendiri. Namun karena Watugunung kabur saat masih kecil, ia dan kedua permaisuri kerjaan pun lupa akan jati dirinya.
Dewi Sinta dan Dewi Landep menyerah, kepada anaknya sendiri. Tak lama kemudian, kedua dewi dipersunting oleh Watugunung menjadi istrinya.
Suatu ketika, Watugunung berada dipangkuan Dewi Sinta, dan sang dewi pun mencarikan kutu serta membelai rambutnya. Tanpa sengaja, bekas lupa pukulan yang mirip dengan luka anaknya, ada dikepala Watugunung. Membuat Dewi Sinta sangat kaget, hancur dan hatinya porak-poranda.
Ia gelisah dan khawatir bahwa Watugunung adalah anaknya sendiri, namun ia yakin luka itu sama persis dengan luka yang dimiliki anaknya terdahulu.
Melihat sang dewi tiba-tiba sedih, Watugunung pun bertanya ada apa gerangan. Sang raja kemudian mengucapkan akan memberikan apa saja yang membantu menghilangkan kesedihannya.
Tentu saja ia sangat sayang dan nyaman dengan Dewi Sinta, karena sejatinya istrinya itu adalah ibu kandungnya sendiri. Dewi Sinta yang sangat malu dan marah, berusaha menutupi kesedihannya. Ia mencari cara mengakhiri perkawinan yang itu.
Ia kemudian meminta agar Sang Watugunung membawakan dirinya seorang pelayan, bernama Dewi Nawang Ratih. Watugunung yang merasa dirinya hebat tiada tanding, kemudian mencari Dewi Nawang Ratih yang tiada lain adalah istri dari Dewa Wisnu. Sesampainya di Wisnu Loka, dengan sombong Watugunung meminta Dewi Nawang Ratih kepada Dewa Wisnu. Tentu saja sang Tri Murti murka, hingga terjadi pertempuran diantara keduanya.
Anugerah dari Dewa Siwa, membuat kekuatan dan kesaktian Watugunung sepadan dengan Dewa Wisnu dan pertarungan pun belum berakhir. Hingga akhirnya Dewa Wisnu mengutus Bhagawan Wrehaspati mencari kelemahan Watugunung. Diutuslah Sang Lumanglang, yang menyamar menjadi binatang kecil dan mendatangi kamar Watugunung bersama Dewi Sinta.
Dari sana didapat informasi bahwa Watugunung, bisa dikalahkan dengan seseorang yang mampu berTriwikrama dan mengubah diri menjadi kura-kura.
Singkat cerita, akhirnya Watugunung kalah setelah Dewa Wisnu berTriwikrama. Tepat pada Minggu Kliwong sang Watugunung kalah dan terbunuh, makanya dikenal dengan Watugunung runtuh saat itu. Namun Dewa Siwa kembali menghidupkannya, dan akhirnya dibunuh lagi oleh Dewa Wisnu.
Sampai akhirnya Watugunung dihidupkan kembali oleh Dewa Wisnu, dengan syarat diturunkan derajatnya menjadi urutan terakhir pada wuku atau pawukon yang kini dikenal di Bali dan Nusantara.
Untuk itu setiap 210 hari sekali, akan ada hari di mana Watugunung runtuh tepatnya pada Minggu (Radite) Kliwon wuku Watugunung. Dari sana Dewa Siwa mengutuk, agar tidak boleh lagi ada pernikahan dengan anak kandung atau orang tua kandung.
Ida Rsi mengatakan, bahwa kisah ini sejatinya memiliki makna kebodohan, kesombongan, rasa congkak dan angkuh yang ada di dalam diri Watugunung. Akhirnya bisa dikalahkan oleh kebaikan. Tatkala kebodohan dikalahkan, maka setelah itu ilmu pengetahuan (Weda) diturunkan ke dunia melalui Dewi Saraswati.
Agar umat manusia tercerahkan kembali, dijauhkan dari hal bodoh yang buruk. Dan mampu meningkatkan imannya dalam perjalanan Dharma. Setelah Saraswati, dikenal dengan Banyupinaruh. Dimana biasanya umat akan mandi ke mata air suci, seperti laut, sungai, danau, campuhan, panglukatan, atau dengan air kumkuman di rumah. Ini sebagai wujud, bahwa ilmu pengetahuan akan mengalir bak air yang tiada pernah putus di alam semesta ini. (*)
Artikel lainnya di Serba serbi