Berita Bali
PILU! Kisah Gus Adit, Penyandang Netra Berjuang Mandiri di Tengah Pandemi
Nama lengkapnya Ida Bagus Aditya Putra Pidada, seorang pemuda Bali penyandang difabel netra yang kreatif dan mandiri. Pemuda kelahiran 23 Juni 1996 i
Penulis: Zaenal Nur Arifin | Editor: Anak Agung Seri Kusniarti
Oleh atasannya di Radio Publik Kota Denpasar, Gus Adit disarankan menjalani pengobatan dan tidak bekerja untuk sementara.
Setelah berdiskusi dengan kepala lingkungan tempatnya tinggal di Sanur.
Maka dipilih opsi untuk isolasi mandiri selama 14 hari.
“Awalnya saya dianjurkan menjalani isolasi terpusat, namun saya bersikeras untuk isolasi mandiri.
Mengingat saya difabel netra, yang tentu memiliki keterbatasan jika mesti isolasi bersama-sama pasien lainnya,” jelasnya.
Gus Adit merasakan urgensi tersedianya informasi yang lengkap, mengenai apa yang harus dilalui oleh seorang penyandang disabilitas selama isolasi.
Dan resiko- resiko yang harus dihadapi, jika isolasi dilakukan secara terpusat oleh pemerintah.
Baca juga: Guyur Bansos, Pangdam IX/Udayana Nyanyi Hidup Ini Adalah Kesempatan Diiringi Anak Panti & Tuna Netra
Seperti bagi kebanyakan orang, jatuh sakit bagi difabel netra tentu tidak mengenakkan.
Terlebih akibat coronavirus yang banyak merenggut korban jiwa.
“Saya mencoba tetap tenang dan tidak overthinking.
Saya beruntung mempunyai keluarga yang dengan telaten merawat saya.
Pihak desa dan banjar juga mendukung dengan memberi sembako, selama saya menjalani perawatan di rumah,” ungkapnya.
Saat terpapar Covid-19, Gus Adit sebenarnya sudah mengikuti vaksinasi pertama.
Protokol kesehatan seperti memakai masker, mencuci tangan dengan sabun, dan menjaga jarak bertemu orang banyak juga sudah ia lakukan.
Gus Adit pun semakin menyadari bahwa Covid-19, nyatanya mengintai sepanjang waktu dan bisa menginfeksi siapa saja.
“Saya mungkin terlalu lelah saat itu, dan imunitas tubuh menurun sehingga menjadi rentan terinfeksi Covid-19,” tambahnya.
Pengalaman berharga tersebut memberinya banyak hikmah.
Dimasa isolasi, dirinya menyusun kembali puisi-puisi yang pernah ia tulis, lalu diterbitkan dalam sebuah buku yang bertajuk “Beri Aku Cakrawala” dan memuat 69 puisi dengan tema beragam, pada November 2021.

Masyarakat umum mungkin mengira penyandang disabilitas.
Terutama disabilitas netra, tidak mengerti tentang pandemi Covid-19, karena keterbatasan mereka dalam menangkap stimulasi dalam berbagai format.
Namun jangan salah, para difabel netra terutama yang berasal dari generasi muda ternyata sangat melek teknologi.
Melalui aplikasi khusus, teman-teman netra bisa menggunakan ponsel pintar layaknya masyarakat non-disabilitas.
Perkembangan pandemi Covid-19 bisa mereka akses melalui internet.
Menelepon, mengirim, dan menerima pesan WhatsApp.
Bahkan mengikuti pertemuan via Zoom biasa mereka lakukan.
Pun “membaca” artikel dan “menonton” video di YouTube, berkat teknologi yang semakin canggih saat ini.
Itu pula yang dilakukan Gus Adit sepanjang masa pandemi.
“Anjuran untuk selalu menjaga protokol kesehatan, terus saya sampaikan melalui radio.
Apalagi saat awal pandemi, begitu banyak hoaks atau berita bohong terkait Covid-19 yang beredar.
Sudah menjadi tugas saya, sebagai penyiar radio untuk menangkal hoaks,” urainya.
Melalui berbagai pengalamannya, Gus Adit menyimpulkan bahwa terdapat dua sikap yang berkembang di tengah masyarakat.
Yaitu yang percaya bahwa Covid-19 benar-benar sebuah bencana yang nyata.
Dan ada yang menganggap Covid-19 adalah hasil konspirasi elit global, dimana virus sengaja diciptakan sebagai senjata biologis untuk membunuh orang.
Dan kemudian mengontrol populasi dunia.
Baca juga: Kisah Pernikahan Dua Tuna Netra, Cinta Bersemi dari Kenalan di Facebook
Bagi penyandang disabilitas netra, jelas Gus Adit, keberadaan organisasi sangat penting untuk saling berbagi pengetahuan dan membangun solidaritas.
Ia sendiri tercatat sebagai anggota Dewan Pengurus Cabang PERTUNI (Persatuan Tuna Netra Indonesia) Kota Denpasar.
Organisasi tersebut memfasilitasi dan memberi kemudahan bagi para difabel netra, untuk mengikuti vaksinasi Covid-19.
Selain vaksinasi, PERTUNI juga secara rutin membagikan informasi terkait pandemi dan Covid-19 bagi sekitar 80 orang anggotanya di Kota Denpasar.
Gus Adit sendiri telah menjalani tiga kali vaksinasi, termasuk vaksin booster.
“Komunikasi resiko yang paling penting, yakni imbauan kepada difabel untuk selalu disiplin menerapkan protokol kesehatan.
Apalagi kebanyakan dari kami bekerja sebagai terapis pijat,” tukas Gus Adit.
Saat siaran di radio, sambungnya, ia juga tak lelah terus menyampaikan pentingnya menjaga protokol kesehatan dan mengajak mereka untuk melakukan vaksinasi lengkap.
Pesan ini ia kemas termasuk untuk menyentuh rekan-rekan difabel.
Kini, setelah dua tahun berlalu, keadaan mulai membaik.
Kasus positif Covid-19 melandai.
Sejak April 2022, pariwisata di Bali pun mulai pulih.
Para wisatawan domestik maupun mancanegara mulai berdatangan.
Senyum para pedagang dan pemilik hotel mulai merekah lagi.
Bagi Gus Adit dan kawan-kawan terapis pijat, kondisi ini sangat disyukuri.
Mengingat perekonomian Bali sebagian besar bergantung pada pariwisata.
Gus Adit mengatakan, bahwa hanya dengan kerjasama yang baik dari semua pihak.
Indonesia bisa bertransisi dengan baik dari kondisi pandemi menjadi endemi.
Artinya masyarakat mulai bisa hidup dalam kenormalan baru.
Beradaptasi dan berdamai dengan virus Covid-19, sambil tetap waspada dan terus melakukan tindakan pencegahan dengan protokol kesehatan.
“Difabel adalah kelompok rentan, jangan sampai mereka terluput untuk terus menerus diberikan informasi pencegahan Covid-19.
Atau sebaliknya, kelompok difabel merasa eksklusif dan menganggap remeh pandemi Covid-19.
Difabel juga harus tetap taat protokol kesehatan, agar terhindar dari virus.
Terutama ketika kehidupan sosial dan ekonomi mulai pulih seperti saat ini.
Bagaimana pun juga, mencegah lebih baik daripada mengobati, jangan sampai kita lengah,” tegas Gus Adit.

Pengalamannya berhasil bertahan hidup dari ganasnya Covid-19, ia tuangkan dalam puisi berjudul 'Puisi Senyap' yang petikannya :
“Panggil aku COVID-19!
Sebuah kamuflase evolusi dari keniscayaan
Tanpa ragu dan belas kasihan,
aku akan mendusta nafas kalian!
Bagai elang kelaparan yang memangsa habis seluruh ikan-ikan Izinkan aku menjadi perwakilan seleksi alam
Wahai para makhluk berkatub serakah
Aku juga ingin bertahan hidup
Bermain riang dengan jiwa dan nyawa
Sampai nanti inangku mati terlentang dingin di tanah".(*)