Berita Denpasar
Transisi Energi Mulai Gunakan PLTS Atap, Core Unud Kaji Ini untuk PLN
Center For Community-Based Renewable Energy (CORE) Universitas Udayana adakan kajian terkait transisi energi Bali dengan stakeholder pada sektor ene
Penulis: Ni Luh Putu Wahyuni Sari | Editor: Marianus Seran
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Center For Community-Based Renewable Energy (CORE) Universitas Udayana adakan kajian terkait transisi energi Bali dengan stakeholder pada sektor energi terbarukan khususnya dalam pemanfaatan Pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di Bali.
Pemerintah Provinsi Bali kini memang tengah berfokus pada penyusunan ekonomi Bali Kerthi khususnya ditransisi energi.
Baca juga: AJAIB, Kota Berusia 3.400 Tahun Tiba-tiba Muncul dari Dasar Sungai Tigris Irak
Banyak stakeholder luar yang juga menentukan pencapaian target ini salah satunya PLN, karena PLTS atap itu adalah PLTS yang ditargetkan lebih banyak terkoneksi dengan PLN dalam Permen ESDM No. 49 Tahun 2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap Oleh Konsumen PT Perusahaan Listrik Negara (persero).
"Sudah diatur PLTS atap bisa ditumpangkan dalam jaringan PLN artinya akan ada proses ekspor import.
Ketika yang punya PLTS atap memiliki kelebihan pembangkitan daripada yang dihubungkan maka kelebihannya akan di ekspor ke PLN sedangkan pada malam hari PLTS tidak menghasilkan dan pengguna PLTS akan mengimpor ke PLN," kata, Prof. Ir. Ida Ayu Dwi Giriantari, MEngSc, PhD, IPM pada, Jumat 3 Juni 2022.
Lebih lanjutnya ia mengatakan, setiap bulannya telah dikalkulasikan sehingga terdapat kegiatan ekspor dan import antara pengguna PLTS atap dan PLN.
Maka pasti sebenarnya PLTS Atap ini tujuannya untuk menghemat, dan akan terlihat pada bulan penggunaan tersebut berapa pelanggan mengimpor dari PLN dan berapa mengekspornya.
Nantinya yang diekspor adalah kelebihannya dan melakukan impor pada sisa kebutuhan setelah dikurangi yang dihasilkan oleh PLTS.
Permen ESDM No. 49 Tahun 2018 itu ditentukan bahwa perbandingan ekspor dan impor 1 banding 0,65 artinya energi yang dieskpor ke PLN akan dihargai 65 persen.
Baca juga: ISU Penghapusan Non ASN, Tenaga Kontrak Klungkung Harapkan Ada Penyelamat
Kemudian ada Permen baru 26 Tahun 2021 disini yang membedakan adalah perbandingan ekspor dan impor kalau dipermen sebelumnya 1 banding 0,65 di Permen 26 Tahun 2021 1 banding 1.
Yang artinya berapa yang di ekspor segitu juga yang dihargai oleh PLN.
"Ini juga masih memerlukan kajian lebih lanjut. Ketika ini masih dikaji ada sebuah usaha PLN ada sebuah usaha PLN menahan sambungan PLTS atap dengan alasan teknis bahwa yang boleh disambungkan ke PLN hanya 15 persen dari kapasitas terpasang dari pelanggan itu," imbuhnya.
Padahal menurutnya, di Permen ESDM No. 49 Tahun 2018 maupun Permen 26 baru maksimum yang boleh dipasang adalah sama dengan daya terpasangnya PLN di pelanggan.
"Ini PLN membuat edaran internalnya bukan sebuah surat resmi tapi di internal mereka.
Sehingga ini sebagai keguncangan kalau saya melihat dari akademisi apakah ini ada indikasi apa, saya melihat bahwa ini akan menjadi tantangan bagi kemajuan energi terbarukan di indonesia maupun di Bali karena di Bali fokus kita di PLTS Atap, sedangkan ini melibatkan PLN Bali tentunya juga akan tunduk dengan peraturan pusat. Kita harus mencari jalan keluar," paparnya.
Satu target pemerintah harus tercapai, dan PLN sebelumnya menyatakan bahwa sudah komitmen untuk ikut membantu mencapai target itu yang menggunakan alasan teknis.
Sedangkan Core Unud sudah membuat kajian bahwa memang PLTS ketika masuk ke sistem harus ada batasan-batasan yang dipenuhi.
Salah satunya adalah berapa kapasitas maksimum yang boleh masuk ke sistem PLN.
Dan memang secara keseluruhan dimanapun itu, sejumlah 15-20 persen secara sistem.
Bukan berarti itu bisa ditarik langsung ke pelanggan.
Karena di sistem kelistrikan itu ada trafo.
Yang membatasi trafo disanalah 15-20 persen dari kapasitas trafo bukan dari kapasitas pelanggan.
"Itu hasil dari kajian kami.
Itu untuk pengguna PLTS kecil kalau yang untuk industri atau bisnis berbeda karena memang dia pelanggan besar dan travonya hanya satu.
Artinya kalau industri mau memasang PLTS besar resikonya adalah ketika tiba-tiba tidak ada matahari listrik akan padam karena travo tidak kuat. Karena travo batasnya sampai 20 persen dapat merecovery," terangnya.
Ketika tegangan drop ini harus diangkat karena memiliki kekuatan sampai 20 persen.
Kalau turunnya tidak sampai 20 persen travo masih bisa kembali dalam waktu cepat.
Kita sempat bicarakan dengan PLN dan menurutnya, PLN berdalih bahwa ini merupakan hasil kajian dari ITB.
"Tapi saya yakin hasil kajiannya tidak banyak berbeda dengan kita.
Hanya saja PLN mengartikan hasil kajian berbeda bahwa 15 persen adalah ditarik ke pelanggan ini yang menimbulkan sedikit masalah.
Kita selalu berusaha melakukan mediasi pada PLN dan kemudian PLN Bali akhirnya juga memberikan mengkaji case by case," tandasnya.
Dengan adanya ini memang ini merupakan tugas PLN hanya saja rantai permohonan pelanggan akan jadi lebih banyak.
Kemudian Core Unud juga menginfokan pelanggan mengajukan penggunaan PLTS bersama developernya. (*)