Berita Bali
PESAN PSIKIATER Dokter Sri Bagi Pasangan Akan Menikah Dalam Menjaga Anak
Dalam Bincang Tribun Bali, Dokter Sri menyoroti kasus bocah telantar dan aksi kekerasan pada anak. Juga kesiapan pasangan yang akan menikah.
Penulis: Putu Honey Dharma Putri W | Editor: Anak Agung Seri Kusniarti
TRIBUN-BALI.COM - Kembali terjadinya aksi kekerasan anak, di Bali belum lama ini menjadi atensi semua pihak.
Kejadian aksi kekerasan anak ini terjadi kepada korban NY, bocah telantar berusia 4 tahun.
NY bernasib malang, setelah disiksa oleh kekasih ibu kandungnya sendiri bernama Jo alias Tedi.
Jo alias Tedi bahkan membuat NY patah tulang paha, dan luka lebam akibat penyiksaan.
NY kemudian ditinggal di sebuah tukang urut, dan menjadi bocah telantar.
Beruntung NY diselamatkan dan diobati ke RS Wangaya.
Namun walaupun fisiknya sudah diobati, NY tentu masih merasakan trauma atas perlakuan Jo alias Tedi pada dirinya.
Baca juga: BOCAH TELANTAR, Kronologi Kekerasan Jo Pada NY dan Alasan Diam Sang Ibu
Baca juga: IBU BOCAH TELANTAR Tidak Tahu Anaknya Akan Ditelantarkan, Ini Alasan Novi Diam Saja
Mirisnya saat terjadi penganiayaan NY, ibu kandungnya Novi malah diam saja.
Novi mengatakan kepada pihak kepolisian, bahwa jika dia membantu NY maka dia yang akan dihajar sampai babak belur.
Sehingga Novi hanya diam saja, melihat aksi kekerasan anak yang dilakukan Jo alias Tedi ke NY.
Tentu aksi kekerasan ini, harus menjadi atensi semua pihak.
Bahkan Psikiater Dokter Sri, mengatakan NY harus mendapatkan terapi mental juga.
Sebab mental NY juga pasti terguncang, tidak hanya fisiknya saja pasca aksi kekerasan anak yang dilakukan orang terdekat.
Padahal seharusnya bocah telantar ini, mendapat perlindungan dari orang terdekatnya.
Tribun Bali pun menghadirkan Psikiater Dokter Sri, dalam Bincang Tribun Bali yang tayang di YouTube dan Facebook Tribun Bali.
Tajuk 'Kekerasan Pada Anak Harus Jadi Atensi Semua Pihak' ini menjadi pembahasan dengan Dokter Sri.
Bincang Tribun Bali dengan DR.dr. Anak Ayu Sri Wahyuni, SpKJ, Ketua Yayasan Lentera Anak Bali pada Jumat, 22 Juli 2022 lalu.
Baca juga: PILU! ANAK TERLANTAR di Sidakarya Denpasar Diduga Dianiaya Pacar Ibunya
Baca juga: ANAK TERLANTAR Terluka FISIK dan PSIKIS, KPPAD Bali Minta USUT TUNTAS
Dalam wawancara tersebut DR.dr. Anak Ayu Sri Wahyuni ,SpKJ menerangkan bahwa perlunya kesiapan mental dalam mengasuh anak.
“Biasanya aksi kekerasan anak, terjadi atau didapat pertama kali dari rumah.
Tak jarang dari orang terdekatnya, padahal mereka yang harusnya memberikan hak-hak anak yang melekat seperti HAM, yang sudah diklasifikasi juga dalam UU Perlindungan anak," ujar Dokter Sri.
Hak itu, seperti tempat tinggal, makanan, pakaian, pendidikan, yang tentu dibalut dengan kasih sayang.
Maka ketika seseorang sudah melahirkan anak, ia memiliki tanggung jawab pada anak itu dan bukan kuasa dari anak itu.
Tetapi ketika seseorang diberikan kesempatan untuk mempunyai anak, belum tentu mereka siap secara mental maupun emosional.
"Inilah masalah-masalah yang timbul dan memengaruhi bagiamana orang bersikap terhadap cara mengasuh anak,” paparnya.
Dokter Sri menambahkan, bahwa orang tua juga harus siap mental dan emosionalnya menjadi ayah atau ibu sejak anak tersebut masih dalam bentuk janin.
“Tentu tidak sejak dilahirkan saja.
Tapi dari masa konsepsi sudah harus dipikirkan.
Maksudnya sejak anak dalam masa kandungan, bahkan sejak seorang perempuan mendapati dirinya telat haid sudah harus dipikirkan matang-matang.
Sudah sejak saat itulah, anak harus mendapatkan kasih sayang, makanan yang sehat, dan perhatian.
Ketika mental sudah kuat, dan kebutuhan atau hak anak itu sudah dipenuhi.
Maka niscaya tidak akan ada tindakan kekerasan, apalagi kekerasan yang sudah keterlaluan,” tambahnya.
Menurutnya ada beberapa jenis aksi kekerasan anak, dan penelantaran terhadap anak.
“Kekekerasan juga ada beberapa jenis.
Contoh kekerasan verbal, ketika anak tidak menjawab ketika dipanggil, biasanya akan diteriaki atau diberi kata-kata seperti membully oleh orang tua.
Itu tidak baik, dan akan berdampak pada anak.
Kemudian ada kekerasan fisik dengan mencubit, memukul, baik dengan tangan langsung maupun dengan alat-alat.
Ada juga kekerasan seksual, dan ini merupakan hal yang biasanya sulit untuk dilaporkan dan disembuhkan traumanya,” tegas Dokter Sri.
Tidak menafkahi anak, juga termasuk dari penelantaran.
Menyuruh anak bekerja dengan waktu yang berlebihan.
Mengajak anak tinggal di tempat yang tidak aman atau berbahaya.
Tidak menyekolahkan anak, dan tidak memberikan makanan yang layak serta cukup.
Semua itu merupakan sebuah kasus penelantaran anak,” tegasnya.
Dokter Sri mengatakan, trauma pada anak merupkan fenomena gunung es.
“Walaupun tidak ada datanya secara real.
Dalam kasus-kasus yang saya tangani sehari-hari, kenapa orang ada yang mengalami rasa tidak percaya diri.
Lalu mengalami ganggun mental seperti depresi, cemas, dan lain sebagainya.
Ini berpengaruh dari riwayat kekerasan yang didapat anak itu.
Trauma tersebut akan muncul pada saat anak masa akil balik, dan sangat sulit terhapuskan," katanya.
Kasus aksi kekerasan anak, membuat trauma pada anak sehingga kalau mau melakukan apa-apa di rumah maupun di luar anak tidak berani.
"Ia (anak) akan selalu punya pikiran, jangan jangan nanti saya akan mengalami hal yang sama seperti yang ia dapatkan di rumah,” ucapnya.
Tentu saja hal ini membuat posisi sebagai orang tua dilema.
Jika tidak keras kepada anaknya, orang tua khawatir bahwa anak tidak akan punya pendirian.
Namun jika terlalu keras bisa menyebabkan trauma.
Dokter Sri pun menjawab, harus ada komitmen dan komunikasi yang kuat dalam mengasuh anak.
“Pola asuh itu ada bermacam-macam.
Sebenarnya sekarang tergantung kesepakatan kedua orang tua, ketika nanti memiliki anak," katanya.
Seperti apa pola asuh, yang memang akan dilakukan.
Jadi apapun itu, pengasuhan yang demokratis, pengasuhan yang permisif atau kebebasan.
Tidak ada yang paling benar atau bagus.
"Tetapi bagaimana kita mengombinasikan jadi demokratis,” ucap Dokter Sri.
Ia juga menerangkan, bahwa kunci dari mengasuh anak adalah komunikasi yang baik terhadap anak.
“Hak anak itu juga didengarkan.
Ketika sudah bisa bicara, kita harus mendengarkan dia.
Buatlah kesepakatan yang baik antara kita dan anak.
Mengenai toleransi kita sampai mana, apa hukuman yang akan kita berikan kepada dia agar tidak diulang.
Sehingga adanya kesepakatan,” ungkapnya.
Dokter Sri juga menerangkan, ternyata aksi kekerasan anak dan kasus penelantaran anak tidak hanya dapat menimbulkan luka dan trauma, yang bisa membuat anak tidak percaya diri.
Maupun takut saja.
Namun anak yang menerima aksi kekerasan anak atau kasus penelantaran.
Ke depanya bisa saja menjadi pelaku.
“Dalam ilmu kedokteran jiwa, dalam otak manusia terdapt saraf dan horman yang dapat menilai, ketika ia sering mendapat kekerasan maka dia bisa merasa bahwa kekerasan tersebut bisa membentuk rasa kenyamanan dan membuat dia bahagia.
Sehingga ia akan menjadi pelaku.
Tapi di dalam hatinya ia merasa marah, mengapa mereka harus mendapatkan perlakuan begini.
Maka trauma itu bisa menciptakan 2 tipe anak.
Ada yang akan memendam ada yang agresif,” ungkapnya.
Tribun Bali juga menyinggung mengenai pendapat DR.dr. Anak Ayu Sri Wahyuni, SpKJ tentang persoalan anak yang mengalami broken home.
“Berpisah merupakan pilihan mereka (orangtua).
Tetapi dasar itu, perlu diingat lagi ketika rumah tangga tidak memiliki komunikasi yang baik, sehingga memilih berpisah.
Apalagi anak menjadi korban, dan kasus diperebutkan untuk merasa masing-masing mampu memberikan pengasuhan yang baik karena ego dari orangtua.
Belum lagi orangtua setelah perceraian bermusuhan.
Ini membuat anak tambah hancur.
Maka komunikasi antar orangtua tetap harus dilakukan demi untuk anak.
Agar tidak ada konflik yang kembali memojokan anak.
Anak bisa saja mencari kebahagian di luar yang mana belum tentu benar.
"Maka harapan saya sebelum bercerai lakukanlah healing, cobalah konsul carilah ahli.
Jangan hanya mementingkan ego, kita lihat kembali pernikahan kita agar anak tidak menjadi korban,” terangnya.
DR.dr. Anak Ayu Sri Wahyuni ,SpKJ juga berharap terhadap kasus NY ini agar pemerintah ataupun keluarga korban.
Tidak hanya fokus dalam menyembuhkan luka fisik NY, tapi juga mental NY sangatlah penting untuk diobati pula.
“Anak itu ada yang bisa merekam kejadian dalam keadaan sadar maupun tidak sadar.
Bukan hanya luka fisik saja, tapi mentalnya harus diperhatikan dari sekarang.
Bisa dengan cara menceritakan cerita seperti ada binatang atau anak yang kurang beruntung, sehingga anak tau di dunia ini ada white and black, seperi cerita bawang merah dan bawang putih," kata Dokter Sri.
Maka dengan cerita itu, dapat meminimalisir dampak trauma dari kekerasan yang dialami.
Saya kira anak ini tidak hanya trauma dengan sakit fisiknya saja.
Sakit fisik saat ini saja, tetapi perpisahan antara ayah dan ibunya kemudian aksi kekerasan anak serta kasus penelantaran menjadi beban mental bagi anak.
Ini bisa berdampak ketika nanti anak masa akil balik.
Maka perlu diamati sedini mungkin.
Di penghujung Bincang Tribun Bali, dengan DR.dr. Anak Ayu Sri Wahyuni, SpKJ.
Ia pun memberi pesan kepada generasi muda yang ingin membangun rumah tangga alias menikah.
“Untuk pemirsa, terutama remaja, belajarlah mengomunikasikan perasaan nyaman maupun tidak nyaman. Semua harus dikomunikasikan.
Kemudian antara anak dan orangtua juga harus demikian.
Dan orangtua harus siap mendengarkan," sebutnya.
Untuk kesiapan menikah, pasangan harus menyiapkan mental, finansial, dan emosional yang matang.
"Kenali diri sendiri dulu.
Sudah siapkah saya.
Sudah kenalkah kita terhadap diri sendiri.
Apa kelebihan dan kekurangan yang kita miliki.
Sehingga tidak hanya bisa menilai orang lain.
Hal yang tidak cocok dengan pasangan, cari jalan tengah untuk menyelesaikanya dengan kesepakatan bersama," ucapnya.
Sebab pernikahan tidak hanya antara dua orang.
Tetapi banyak orang di belakang masing-masing pasangan, yang nanti bisa memprkeruh, mendewasakan, maupun merapuhkan suatu hubungan.
"Kata kuncinya adalah, bisakah kita ketika sejak masa pacaran memiliki komunikasi yang sehat.
Bukan merasa paling berkorban atau paling segalanya.
Dengan berpikir ingin mengubah seseorang, maka itu sudah salah.
Sebab mengubah diri sendiri saja tidak gampang.
Maka diperlukan komunikasi yang sehat dan adaptasi yang baik dalam suatu hubungan apapaun itu,"ucapnya (*)
