Berita Bali
Koster Larang Terminal LNG di Hutan Mangrove, Warga Tuntut Pernyataan Resmi
Gubernur Bali, Wayan Koster telah menegaskan tidak boleh membangun Terminal LNG di areal hutan mangrove.
Penulis: Ida Bagus Putu Mahendra | Editor: I Putu Darmendra
TRIBUN-BALI.COM - Warga Desa Adat Intaran dan Desa Adat Penyaringan, Sanur, Denpasar menggelar aksi budaya tolak Terminal LNG (Liquified Natural Gas) di kawasan mangrove, Minggu 7 Agustus 2022.
Aksi budaya digelar di Wantilan Desa Adat Intaran dan simpang empat Jalan Danau Buyan, Bypass Ngurah Rai, Denpasar, Bali.
Massa aksi datang mengenakan pakaian adat Bali madya, membawa poster, bendera, serta banner bernunasa penolakan pembangunan Terminal LNG di kawasan mangrove.
Rangkaian acara dimulai dengan orasi, penandatanganan 20 banjar se-Desa Adat Intaran dan dilanjutkan dengan pemasangan baliho di simpang empat Jalan Danau Buyan, Bypass Ngurah Rai.
Bendesa Adat Intaran, I Gusti Agung Alit Kencana mengatakan aksi digelar untuk mendesak Gubernur Bali, Wayan Koster memberikan kejelasan terhadap pembangunan Terminal LNG di kawasan mangrove.
Seperti pencabutan izin dan pernyataan resmi.
Baca juga: Koster Tegaskan Tidak Bangun Tersus LNG Dikawasan Mangrove, Sebut Minta Buat Konsep Ulang
“Kami berharap, apa yang disampaikan oleh Pak Koster itu ditindaklanjuti dengan pencabutan izin misalnya. Karena masyarakat masih resah ini. Gimana besok, gimana jadinya ini.
Karena ada slentingan PT. Dewata Energi Bersih (DEB) menyatakan akan tetap itu berlanjut. Ini kan tidak sejalan antara PT DEB dengan Gubernur Bali,” ujar Agung Alit Kencana.
Sebelumnya, Gubernur Bali, Wayan Koster telah menegaskan tidak boleh membangun Terminal LNG di areal hutan mangrove.
Prajuru Desa Adat Penyaringan, Made Adnyana menuturkan, krama Desa Adat Penyaringan berempati terhadap perjuangan Warga Desa Adat Intaran.
Desa Adat Penyaringan memutuskan untuk bergabung dalam aksi budaya tolak terminal LNG di kawasan mangrove.
“Keberadaan dan status kami juga merupakan bagian dari Sanur Kauh. Ibarat ‘getih abungbung’ (darah satu wadah).
Ini menjadi dasar yang kuat bagi kami untuk turut berempati dan bersolidaritas terhadap perjuangan proyek LNG di kawasan mangrove,” ujarnya.
Prajuru Desa Adat Penyaringan mengambil sikap untuk menolak pembangunan LNG di kawasan mangrove.
Selain menyatakan sikapnya, Desa Adat Penyaringan turut mendesak Gubernur Bali agar segera mengeluarkan pernyataan resmi untuk tidak membangun LNG di kawasan mangrove.
“Kami menolak pembangunan proyek terminal LNG di kawasan mangrove. Mendesak Gubernur Bali untuk mengeluarkan keputusan tegas dan tertulis untuk tidak dibangunnya terminal LNG di kawasan mangrove Tahura Ngurah Rai,” tegasnya.
Acara kemudian dilanjutkan dengan penandatanganan kebulatan tekad dari 20 banjar se-Desa Adat Intaran serta penandatanganan sikap dan tekad dari Desa Adat Penyaringan yang dilakukan di lembaran baliho
Pemasangan baliho yang berisi tanda tangan serta baliho tolak terminal LNG di kawasan mangrove berlangsung diiringi gamelan Bali.
Selain prajuru masing -masing desa adat, aksi budaya yang dimulai sekitar pukul 16.00 Wita dihadiri pula oleh politikus I Wayan Mariana Wandhira serta Anak Agung Gede Agung Suyoga.
Penjelasan Gubernur Bali
Gubernur Bali, Wayan Koster menegaskan Perusda Bali tidak boleh membangun Terminal LNG di areal hutan mangrove.
Kata Koster, pembangunan Terminal LNG juga tidak boleh mengganggu terumbu karang yang ada di kawasan Desa Sidakarya, Sesetan, Serangan, Intaran, dan Desa Pedungan, Kota Denpasar.
Koster mengatakan, Bali butuh Terminal LNG dengan pilihan dibangun di tempat yang strategis. Kata dia, kebutuhan energi yang tinggi konsumennya ada di Bali Selatan, yaitu Denpasar, Badung, dan Gianyar.
"Maka pilihan lokasinya juga di sana. Lalu bisakah dibangun ditempat lain seperti di Celukan Bawang, Buleleng? Bisa tapi kebutuhan disana kan kecil dan untuk menyalurkan perlu teknologi serta peralatan yang mahal lagi hingga tidak efisien," kata Koster
Koster mengatakan, Pulau Dewata memerlukan mandiri energi dengan energi bersih. Kata dia, ini yang menjadi kebutuhan strategis Bali yang harus diantisipasi dalam Perda RTRW Bali adalah
Koster mengatakan, kebutuhan energi di Bali tidak cukup hanya melihat lampu menyala, listrik hidup.
"Tapi kita harus berpikir strategis ke depan bahwa dari mana energi listrik itu ada untuk menyalakan lampu. Jadi itu harus dipikirkan,” ujar Koster.
Ia memaparkan, Bali saat ini memiliki ketersediaan energi sekitar 1.153 MW. Sedangkan kebutuhan Bali saat masa normal atau sebelum pandemi itu mencapai 940 MW dan 30 persennya harus dipenuhi dengan cara lain.
Dari 1.153 MW itu, lebih dari 300 MW disalurkan dari Paiton, Jawa Timur melalui kabel bawah laut.
"Sehingga tujuan saya dengan visi Nangun Sat Kerthi Loka Bali, Pulau Dewata harus mandiri energi kedepannya dan bukan mempunyai energi yang bersumber dari batubara atau bahan bakar fosil, tetapi dari energi bersih.
Alasannya supaya alam, udara dan hidup Kita ini menjadi lebih bersih, sehat serta citra pariwisata Bali menjadi lebih baik,” kata Gubernur Koster.
Ia mengatakan, kebutuhan energi bersih juga sangat diperlukan, mengingat penduduk Bali yang jumlahnya 4,3 juta.
“Makin banyak Kita bergantung dari luar, makin berbahaya buat kehidupan masyarakat kita di masa yang akan datang dan untuk anak cucu Kita," ujar pejabat asal Desa Sembiran, Buleleng. (*)