Wawancara Tokoh

Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya, 57 Persen Tolak Pasangan Prabowo-Jokowi

Jelang Pemilu 2024, wawancara eksklusif Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya dengan Tribunnews

Screenshot dari youtube Tribunnews
Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya - Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya, 57 Persen Tolak Pasangan Prabowo-Jokowi 

Bagaimana hasil uji sampel Charta Politika untuk peluang Prabowo-Jokowi?

Secara faktual juga Charta Politika kemarin memperlihatkan, kita uji nih isunya sudah ramai ternyata 57 persen menolak, 31 persen setuju, sisanya belum menentukan pilihan.

Kalau maju pun kedua sosok ini (Prabowo-Jokowi) yang dikatakan bisa mencegah polarisasi artinya tidak diterima.

Apa yang utarakan dari teman-teman Sekretariat Bersama (Sekber) ini jangan-jangan hanya perasaan saja, bukan merepresentasikan pendukung Pak Prabowo dan Pak Jokowi yang sesungguhnya.

Ngapain kalau kemudian sudah kontroversial lalu kemudian dikatakan sebagian pihak melanggar etik Pak Jokowi kalah pula kasian gitu kan Pak Jokowi.

Itu memperlihatkan belum ada satupun alasan konstitusional, alasan empiris, alasan dari partai pendukung Pak Prabowo dan Pak Jokowi, sampai bagaimana sikap publik yang mendukung gerakan ini. Itu yang menurut saya perlu jadi catatan kritis.

Mengapa sih hasil survei Anda sebagian besar menolak Pak Jokowi tiga periode atau menjadi Wakil Presiden, apakah karena secara konstitusional mereka melihat tidak bagus?

Pertama saya menjawab dulu kalau Pak Prabowo berhalangan tetap lalu Pak Jokowi bisa menggantikan Pak Prabowo.

Berartikan Pak Jokowi tiga kali jadi Presiden apakah ini tidak melanggar logika yang ada di Pasal 7 UUD 45.

Memang tidak dijelaskan secara leterlek, tapi kondisi yang dijelaskan tadi memperlihatkan bahwa semangat yang ada di Pasal 7 dan Pasal 8 sebenarnya tidak memperbolehkan mengenai seorang Presiden yang maju kembali karena ada sesuatu yang akan bertabrakan.

Kedua, kalau kita mau berkaca undang-undang yang lebih khusus terkait kepala daerah.

Undang-undang No 1 tahun 2015 belum mengatur apabila ada seorang sudah dua kali menjadi kepala daerah apakah boleh maju jadi wakil.

Maka kemudian ada Pak Bambang DH yang sudah dua periode menjadi Walikota Surabaya kemudian menjadi Wakil Wali Kota.

Itu kemudian diatur di UU No 10 Tahun 2016 sebagai revisi UU No 1 tahun 2015 yang menyebut dengan jelas seorang kepala daerah dua periode, dia tidak boleh maju sebagai kepala daerah maupun calon wakil.

Itu yang menjelaskan menurut saya dalam satu rezim ketatanegaraan, ada semangat dan ada logika yang sama harusnya kita gunakan.

Halaman
1234
Sumber: Tribunnews
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved