Berita Bali

The Golden Toilet in Winter Karya Ketut Putrayasa, Sindiran Budaya Privat Dipertontonkan ke Publik

Seperti inilah instalasi The Golden Toilet in Winter, menyindir budaya menghadirkan ranah privasi ke ruang publik karya seniman I Ketut Putrayasa.

Penulis: Putu Supartika | Editor: Putu Kartika Viktriani
Tribun Bali/Putu Supartika
Instalasi The Golden Toilet in Winter karya I Ketut Putrayasa yang ditampilkan di Penggak Men Mersi. 

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR- Instalasi The Golden Toilet in Winter, menyindir budaya menghadirkan ranah privasi ke ruang publik.

Juga menyindir budaya timur yang mudah mencair dan menerima segala hal.

Instalasi ini adalah karya seniman I Ketut Putrayasa yang dihadirkan di Penggak Men Mersi Denpasar pada Sabtu, 12 November 2022 petang.

Pembuatan instalasi ini menggunakan balok es yang disusun layaknya candi.

Selain itu, diisi karpet merah yang panjang layaknya menyambut tamu kehormatan.

Namun dengan berani ia menghadirkan sebuah toilet yang berlapis emas di atas karpet merah ini.

"Semua sudah kebal akan kritikan, dan sekarang, ini adalah cara seniman untuk mengungkapkan fenomena yang ada saat ini. Semua bebas memberikan interpretasi, entah apapun itu," kata Putrayasa yang diwawancarai di sela-sela acara.

Toilet yang dihadirkan bermakna persoalan keintiman, nilai-nilai privasi yang malah dipertontonkan di ruang publik dan dipaksanakan.

"Dan terlalu berlebihan merespon sesuatu yang konyol sehingga dihadirkan dalam toilet emas ini," katanya.

Baca juga: Caca Anska Orbitkan Nindi & Sharan, 2 Perempuan Bali Untuk Tembus Ajang Indonesian Idol 2023

Karpet merah melambangkan penyambutan yang berlebihan terhadap sesuatu yang remeh temeh.

Sementara es, melambangkan budaya timur yang mudah cair terhadap sesuatu hal, namun berbahaya bisa karena membekukan hal yang sifatnya prinsif.

"Ini kan negara tropis, dan es tidak bisa di sini, mencair. Tapi di satu sisi ini bisa membekukan hal yang prinsif," katanya.

Karya instalasi ini direspons pembacaan puisi oleh sastrawan Wayan Jengki Sunarta dan gerak tari teaterikal oleh seniman Achmad Obe Marzuki.

Dalam merespon instalasi ini, Obe menggotong toilet emas, melintasi jalan berkarpet merah, tertatih dan ngos-ngosan, berjuang sekuat tenaga untuk bisa diletakkan pada tumpukan balok es. 

"Tumpukan  balok es itu boleh kita pahami sebagai simbol singasana yang dingin, juga menggambarkan situasi politik dunia yang dingin, yang saban waktu bisa meledak jadi krisis mengerikan. Toilet, karpet, merah, dan balok es adalah barang sehari-hari biasa kita temui. Namun ini benar-benar menjadi satire, cibiran halus pada pemegang kuasa yang tidak sungguh-sungguh melenyapkan derita warga, tapi diam-diam membangun koorporasi, membuat kesenjangan antara yang miskin dan kaya begitu jomplang," katanya.

Halaman
12
Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved