Pelanggaran HAM Berat
Toko Wong Saksi Bisu Pembantaian Gerakan 30 September 1965 di Jembrana Bali
Sebuah bangunan tingkat dua dengan desain lawas nampak masih berdiri di Jembrana. Bangunan ini merupakan saksi bisu peristiwa G30S PKI
Penulis: I Made Prasetia Aryawan | Editor: Ida Ayu Suryantini Putri
TRIBUN-BALI.COM, JEMBRANA - Sebuah bangunan tingkat dua dengan desain lawas nampak masih berdiri kokoh di Jalan Kalimutu, Kelurahan Lelateng, Kecamatan Negara, Jembrana, Bali, Kamis 12 Januari 2023.
Adalah bangunan yang dulunya dikenal dengan nama Toko Wong.
Toko tersebut merupakan saksi bisu peristiwa berdarah gerakan 30 September 1965 silam.
Baca juga: Presiden Jokowi Akui Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu, Korban Semanggi I Sebut Pencitraan!
Di lokasi ini, setidaknya ada ratusan bahkan ribuan orang yang dieksekusi mati karena menjadi simpatisan atau dituduh PKI saat itu.
Menurut pantauan, bangunan bertingkat dua itu masih beridiri kokoh.
Bangunan yang dominan berwarna putih pada bagian dalam ini masih terawat meskipun beberapa bagian mengalami kerusakan.
Sebab, bangunan tua ini masih menggunakan bahan campura tempo dulu.
Baca juga: KISAH Sisca Terpisah dari 7 Anak Selama 38 Tahun Usai G30S/PKI, Kami Bangga dengan Ibu, Dia Pejuang
Dan satu ruangan depan pada lantai satu yang menjadi tempat kamp tahanan sudah dialihkan menjadi ruko.
Ruko tersebut disewa orang untuk membuka usaha penjualan kasus dan meubel.
Anak dari pembeli Toko Wong, Tafakur Ega berkesempatan untuk menuturkan sedikit kisah yang ia dengar dari para tetua setempat.
Ia mengawali kisahnya dengan transaksi jual beli bangunan bertingkat dua antara ayah dan pemilik sebelumnya.
Baca juga: Megawati Heran Dan Mengaku Kesal Kerap Dituduh Sebagai Anggota PKI
Bangunan tersebut dibeli pada tahun 1972 atau tujuh tahun setelah peristiwa G30S tersebut.
"Orang tua kami baru ke sini tahun 1972 lalu. Sebelumnya dari Tabanan," katanya mengawali.
Dulu sebelum pindah ke Jembrana, kata dia, kondisi rumah tersebut masih sama dengan kondisi usai pembantaian pada peristiwa G30S.
Banyak bekas tembakan pada dinding tembok dan papan kayu dalam rumahnya. Terutama pada ruangan depan dekat jalan yang lebih dikenal dengan kamp tahanan.
Baca juga: Gatot Nurmantyo jadi Sorotan, Dicegat Perwira TNI ketika Nyekar Korban G30S PKI
"Tapi sebelum pindah ke sini, rumah ini direhab sama orang tua. Bahkan tukangnya juga bawa dari Tabanan," kenangnya.
Dia kemudian melanjutkan kisah tentang peranan Toko Wong sebagai kamp tahanan dan salah satu titik tempat pembantaian atau tempat eksekusi simpatisan atau yang dituduh sebagai PKI.
Sesuai penuturan tetua, saat peristiwa tersebut, darah di rumah tersebut berceceran bahkan sampai menggenang hampir selutut orang dewasa.
Baca juga: Ini Orang Pertama yang Bawa PKI ke Indonesia, Jiwa Kirinya Menggelora Sejak Usia 30 Tahun
"Tapi kisah ini saya ceritakan dari cerita orang juga. Banyak lagi kisah lainnya, tapi pada intinya tempat ini (Toko Wong) menjadi tempat eksekusi saat itu," tuturnya.
Selain ruangan depan, kata dia, pada bagian belakang selatan rumah seluas 50x12 meter tersebut juga terdapat sumur tua.
Konon, sumur tersebut digunakan sebagai tempat pembuangan mayat sisa pembantaian. Namun, saat ini sumur tersebut sudah ditutup dan rata dengan tanah.
Namun, ketika ada rerahinan (hari keagamaan) dirinya selalu menghaturkan sesajen minimal canang sebangai persembahan.
"Kalau dulunya sebelum dikubur, banyak juga yang menghaturkan canang atau sesajen ke sumur ini. Tapi setelah ditutup dan diupacarai sudah tidak ada lagi yang ke sini," katanya.
Bagaimana dengan situasi rumah saat ini, pria yang akrab disapa Pak Ega ini menuturkan selama ini kondisinya cukup kondusif.
Artinya tidak ada hal aneh yang terjadi atau berkaitan dengan peristiwa mengerikan yang terjadi 57 tahun silam tersebut.
"Selama ini baik-baik saja, tidak pernah terjadi hal aneh," tandasnya.
Presiden Jokowi Mengakui Peristiwa Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengakui secara resmi, terjadinya berbagai peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu.
Presiden Jokowi mengakui adanya pelanggaran HAM, setelah menerima laporan akhir Tim Pelaksana Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia ( HAM) yang Berat Masa Lalu (PP HAM) di Istana Kepresidenan, Jakarta, kemarin.
“Saya telah membaca dengan seksama, laporan dari Tim Pelaksana Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat yang dibentuk berdasarkan keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2022,” katanya dikutip Tribun Bali dari Tribunnews.
“Dengan pikiran yang jernih dan hati yang tulus, saya sebagai kepala negara Republik Indonesia mengakui bahwa pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat memang terjadi di berbagai peristiwa,” katanya.
Sebelumnya negara belum pernah mengakui, adanya pelanggaran HAM berat di masa lalu.
Presiden Jokowi sangat menyesalkan terjadinya peristiwa pelanggaran HAM yang berat tersebut.
Peristiwa yang diakui sebagai pelanggaran HAM Berat diantaranya yakni:
Peristiwa 1965-1966,
Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985,
Peristiwa Talangsari Lampung 1989,
Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis Aceh 1989,
Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998,
Peristiwa Kerusuhan Mei 1998.
Selain itu, Peristiwa Trisakti dan Semanggi I - II 1998-1999,
Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999,
Peristiwa Simpang KKA Aceh 1999,
Peristiwa Wasior Papua 2001-2002,
Peristiwa Wamena Papua 2003,
dan Peristiwa Jambo Keupok, Aceh 2003.
Presiden Jokowi menaruh simpati dan empati yang mendalam kepada para korban dan keluarga korban peristiwa tersebut. (*)
Berita lainnya di G30SPKI
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.