Pelanggaran HAM Berat
Ada Dipihak Pembela NKRI, Prof. Wirawan Tak Trauma Dengan Peristiwa Pembantaian 1965-1966
Ada dipihak pembela NKRI, Prof. Wirawan tak trauma dengan Peristiwa Pembantaian 1965-1966.
Penulis: Putu Yunia Andriyani | Editor: Putu Kartika Viktriani
Pada saat itu kekuatan PKI semakin besar karena Presiden Soekarno membubarkan dua partai besar, yaitu PNI dan Partai Masyumi.
Kekuatan PKI tidak bisa diusik, meskipun pemilihan umum sudah tidak diadakan lagi kala itu.
PKI semakin berjaya, terbukti dengan adanya penambahan anggota dan peresmian cabang-cabang di berbagai daerah.
Termasuk di Bali, berjayanya PKI terus terjadi hingga tahun 1964 yang diwarnai dengan perselisihan antara PNI dan PKI.
“Konflik di Bali itu secara mental dan fisik karena antara PKI dan PNI mereka saling caci maki dan saling singgung.
Karena mereka kekuatannya besar, jadi kalau mereka berselisih, masyarakatnya kena juga,” ujarnya.
Lelaki asal Klungkung ini kemudian melanjutkan ceritanya tentang penembakan seorang parlemen PNI, Made Parlemen, di Lapangan Klungkung.
Penembakan yang terjadi pada 20 Mei 1964 atau saat peringatan Hari Kebangkitan Nasional, diduga kuat dilakukan oleh anggota PKI.
Parlemen sendiri merupakan sebutan untuk koordinator tameng atau banteng dari sebuah partai.
Saat itu, Prof. Wirawan ikut sebagai pasukan tameng yang saat itu berjaga pada Hari Kebangkitan Nasional.
Situasi menegangkan kemudian berlanjut pada Palebonan Raja Klungkung, sosok yang berpihak pada PNI.
Orang Puri Klungkung merupakan musuh PKI atau pemilik slogan “pembela rakyat” dan digolongkan sebagai orang feodal.
“Situasinya semakin tidak kondusif, jadi waktu Palebonan Raja Klungkung itu, penjagaan oleh pasukan tameng semakin diperketat,” tutur Prof. Wirawan.
Tidak hanya di Klungkung, kondisi ini terjadi secara merata di seluruh wilayah di Bali yang dipantau Prof. Wirawan melalui surat kabar.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.