Berita Denpasar
Mohon Kerahayuan Jagat, Parade Imlek 2023 Meriahkan Jalan Gajah Mada Denpasar Bali
Pada Senin, 23 Januari 2023 digelar ngelawang atau parade Imlek di kawasan Jalan Gajah Mada Denpasar.
Penulis: Putu Supartika | Editor: Anak Agung Seri Kusniarti
TRIBUN-BALI.COM - Pada Senin, 23 Januari 2023 digelar ngelawang atau parade Imlek di kawasan Jalan Gajah Mada Denpasar.
Pelaksanaan parade ini dilakukan, untuk kerahayuan jagat atau mendoakan kedamaian dunia.
Jero Gede Kuning yang merupakan pendiri Kelenteng Sing Bie di kawasan Jalan Gajah Mada Denpasar, mengatakan sebelum melakukan parade terlebih dahulu dilakukan persembahyangan di pura dan puri.
"Kami sembahyang dahulu ke Puri Jero Kuta dan Pura Taman Sari," kata Jero Gede Kuning.
Kemudian barulah ngelawang atau kirab untuk kerahayuan jagat dari Kelenteng Sing Bie menuju Jalan Gajah Mada.
Kemudian dilanjutkan ke Pura Desa Adat Denpasar, dan diperciki tirta.
Selanjunya menuju ke kawasan Pura Melanting Pasar Badung.
Dari Pura Melanting kemudian kembali ke Jalan Gajah Mada menuju Patung Catur Muka dan kembali ke Kelenteng.
Baca juga: Semarak Tahun Baru Imlek 2023, Banyak Program Diskon Menarik dari Bank BJB
Baca juga: Semarak Tahun Baru Imlek 2023, Banyak Program Diskon Menarik dari Bank BJB

Saat ngelawang ini, para pengayah membawa pratima Dewa Perang diiringi dengan liong dan barongsai serta gamelan baleganjur.
Jero Kuning menambahkan, pelaksanaan prosesi ini menggunakan konsep Siwa Budha. "Di sini Siwa Budha, ada pecaruan juga. Ada persembahyangan di beberapa pura. Kami menampilkan akulturasi kesenian," katanya.
Selain pawai, juga digelar pertunjukan seni budaya di kawasan Patung Ida Ratu Mas Melanting. Pertunjukan ini menampilkan kesenian baris China, barongsai, pasepan, dan tampil pula Komunitas Pancerlangit serta Naluri Manca.
"Kita berharap pada momen Imlek ini semua bangkit sehingga bisa kembali berjaya di tahun 2023 ini," katanya.
Untuk diketahui, hampir 103 tahun etnis Tionghoa telah menempati wilayah sekitaran Jalan Gajah Mada Denpasar.
Mereka berkembang dan bertumbuh melewati masa pasang surut juga di wilayah ini. Ada tiga suku besar dari etnis Tionghoa yang menempati kawasan ini yakni Suku Kek atau Hakka, Suku Hokkian, dan Suku Tiociu.
Diperkirakan, mereka telah datang dan menempati kawasan Jalan Gajah Mada sekitar tahun 1920-an pada masa penjajahan Belanda.
Menurut penuturan salah seorang tetua estinis Tionghoa, Sujadi Prasetio atau Tio Sing Khoei (89), etnis Tionghoa yang menetap di Gajah Mada dulunya datang dari Lombok.
Setelah itu beberapa dari mereka merantau dan menempati wilayah Kuta, Badung. Dari Kuta inilah mereka kemudian mulai datang ke kawasan Gajah Mada termasuk Jalan Kartini hingga ke Jalan Gunung Agung Denpasar.
“Waktu tahun 1920-an awal saya kira di Denpasar ini belum berkembang betul (etnis Tionghoa). Orangtua saya itu di Lombok dulu membuat pabrik beras di sana. Di seputaran Gajah Mada waktu itu masih alang-alang,” kata Tio.

Menurutnya, dulu Jalan Gajah Mada belum bernama Gajah Mada. Akan tetapi sampai saat ini masih belum ditemukan apa nama kawasan tersebut. “Sudah saya tanya yang tua, belum juga ada yang tahu. Setelah berkembang baru namanya Gajah Mada,” katanya.
Saat pindah dari Kuta, orangtuanya membawa hasil bumi ke Gajah Mada, mulai dari kopra, bawang putih, juga kedelai. Ia pun menuturkan, saat awal perkembangannya, wilayah Jalan Gunung Agung merupakan persawahan. Orangtuanya pun sangat dekat dengan Puri Pemecutan kala itu.
“Jadi Jalan Gunung Agung ada daerah padi tapi tidak ada tempat mau di bawa ke mana. Orangtua saya lalu mendirikan pabrik beras di sana. Besar sekali, tapi kurang dari 1 hektare. Lalu dibuatlah jalan yang disumbangkan oleh Cokorda Pemecutan. Orangtua saya sama raja baik sekali, waktu itu sama Cokorda Gembrong,” tuturnya.
Ia pun menuturkan bahwa kala itu, di kiri dan kanan Jalan Gunung Agung selalu mengepul asap pembakaran sekam padi. Sementara itu, di kawasan Jalan Gajah Mada hingga Kartini berkembang pertokoan milik etnis Tionghoa. Ada ciri khas dari masing-masing suku yang menempati wilayah ini, dimana Suku Kek kebanyakan memiliki toko kelontong.
Sementara Suku Hokkian, dan Suku Tiociu kebanyakan memiliki penghasilan dari hasil bumi.
Ia pun menyebut bahwa Suku Kek merupakan orang pintar dan banyak juga yang menjadi guru. Bahkan menurut pengakuannya, orangtuanya memiliki 6 toko di kawasan Jalan Kartini. Namun setelah Jepang datang, semua toko miliknya diambil oleh Jepang.
“Jepang datang, Jepang yang pakai dan kita tidak pernah menikmati rumah-rumah di sana (Jalan Kartini). Saya ingat waktu itu, karyawan orangtua saya semua pernah ditempeleng Jepang karena tidak memberi hormat,” kenangnya. (sup)
Sudah Enam Generasi di Gajah Mada
SUJADI Prasetio atau Tio Sing Khoei menyebutkan, etnis Tionghoa di kawasan Gajah Mada mengalami masa kejayaan tahun 1940 sampai 1950-an. Dimana mayoritas kawasan ini menjadi tempat tinggal warga etnis Tionghoa termasuk usaha mereka. Namun yang unik, menurut Tio, antara Pasar Badung dan etnis Tionghoa yang berjualan di kawasan Gajah Mada maupun Kartini tak pernah ada persaingan.
“Kami saling melengkapi dan tidak ada persaingan,” katanya.
Setelah itu, banyak permasalahan yang timbul dan beberapa toko mulai dijual. Penduduk etnis Tionghoa di sana pun berpencar ke beberapa daerah dan banyak juga yang kembali ke Kuta. “Jadi kebanyakan mencar mereka, sebagian ke Kuta lagi, jadinya Kuta kan ramai sekarang dengan etnis Tionghoa. Kalau dihitung-hitung di sini hanya tersisa 30 sampai 40 persen warga Tionghoa,” paparnya.
Kejadian yang paling buruk dialami saat masa pemerintahan Orde Baru. Dimana saat itu banyak pemuda etnis Tionghoa yang kembali ke China karena di sini tidak diijinkan sekolah. Mereka juga mengganti nama, termasuk nama toko agar tak menggunakan nama yang berbau China. “Sekolah Tionghoa ditutup dan aset mereka banyak diambil. Kelenteng juga tutup dan banyak pemuda yang pulang ke China,” katanya.
Setelah pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) komunitas ini mulai bisa bernapas lega. Usaha mereka pun mulai menggeliat hingga saat ini. Namun, karena masa pengekangan tersebut, menurut Tio banyak anak muda etnis Tionghoa yang hampir melupakan tradisi leluhurnya.
“Karena ada yang tua-tua, makanya adat istiadat dari leluhur kami masih tetap bertahan,” paparnya.
Walaupun etnis ini masih bertahan di kawasan Gajah Mada, namun jumlah mereka sudah tidak banyak. Tempat usaha mereka yang masih bertahan pun bisa dihitung dengan jari.
“Yang bertahan toko yang jual kopi itu Bhineka Jaya, toko obat, dan beberapa toko. Kalau dulu banyak, sampai Wisnu Teater. Namun sudah kebanyakan dijual dan dibeli orang dari Arab dan India yang kebanyakan pedagang kain di sini,” katanya.
Tio mengaku, walaupun ia dilahirkan di China namun kini ia tak memiliki keinginan untuk kembali menetap di China. “Saya sudah jadi orang Indonesia jadi selamanya mau di sini. Dulu saya dilahirkan tahun 1934 di China saat orangtua saya pulang ke sana. Lalu saya diajak ke sini lagi,” ungkapnya. Hingga kini, sudah 6 generasi dari keluarganya yang menetap di Jalan Gajah Mada, dimana dirinya merupakan generasi kedua. (sup)
17 BANTUAN Rumah Layak Huni Diserahkan di Denpasar, Anggaran Per Unit Rp100 Juta |
![]() |
---|
17 Bantuan Rumah Layak Huni Diserahkan di Denpasar, Anggaran Per Unit Rp 100 Juta |
![]() |
---|
Pasca Demo, Ribuan Pecalang Rapatkan Barisan di Lapangan Niti Mandala Renon Denpasar |
![]() |
---|
Terkait SE Penyesuaian Penetapan Pajak dan Retribusi Daerah dari Mendagri, Ini Kata Bapenda Denpasar |
![]() |
---|
Kembangkan Kampung Kuliner Serangan Bali, Dispar Denpasar Tengah Jajaki CSR |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.