Berita Bali
Seni Calonarang Dianggap Unjuk Seni Kekebalan Orang-Orang Sakti, MKB Bali Gelar FGD Tentukan Rumusan
Awalnya seni pertunjukan Calonarang merupakan ilmu hitam simbolis, kini menjadi pertunjukan seni kekebalan yang sedikit vulgar (show off “orang-orang
Penulis: Ni Luh Putu Wahyuni Sari | Editor: Ida Ayu Suryantini Putri
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Seni Calonarang kini terus diperbarui oleh seniman untuk memenuhi cita rasa masyarakat pada zamannya.
Pembaruan ini perlu diwaspadai mengingat dapat menimbulkan penyimpangan nilai-nilai (kebablasan) terutama terhadap calonarang sebagai seni pengruwatan (pemarisudha).
Demikian terungkap dalam Fokus Group Discussion (FGD) Seni Pertunjukan Calonarang, yang digelar Majelis Kebudayaan Bali (MKB) Tingkat Provinsi Bali, di Kantor Disbud Provinsi Bali, Jumat 3 Maret 2023.
Baca juga: 11 Seniman Bali Pamerkan Karya Pada Sabdawarsa Art Exhibition
Awalnya seni pertunjukan Calonarang merupakan ilmu hitam simbolis, kini menjadi pertunjukan seni kekebalan yang sedikit vulgar (show off “orang-orang sakti).
Perubahan seni Calonarang dewasa ini semakin mengkhawatirkan banyak orang.
Beberapa contoh cerita Calonarang (penyalonarangan): Kautus Rarung, Tanting Mas, Katundung Ratna Mangali, Bahula Duta, Dayu Datu dan Pengesengan Bingin.
Baca juga: Tunjang Kreator dan Seniman Tanah Air, NVIDIA Hadirkan Alat Studio Teknologi Canggih
Guna menyikapi hal tersebut, FGD ini mencari rumusan untuk menjaga nilai - nilai penyalonarangan dengan menghadirkan dua narasumber masing -masing Prof. Dr. I Wayan Dibia (budayawan) dan Dr. I Komang Indra Wirawan, S.Sn, M. Fil.H (akademisi/ pengiat Calonarang), dengan peserta para budayawan, seniman, sanggar , akademisi serta perwakilan dinas kebudayaan kabupaten / kota Se Bali.
Ketua Harian MKB Provinsi Bali Prof. Dr. I Komang Sudirga mengatakan, dalam FGD ini diharapkan mendapatkan masukan -masukan dari peserta terkait sudut pandang seni pergelaran Calonarang agar tidak melenceng dari nilai -nilai kesakralan.
“Keseimbangan nilai-nilai sakral religius dan sandining lango sebagai poros kemanunggalan “yoga estetis” mesti tetap dipertahankan. Dengan demikian seni pertunjukan Calonarang tetap menjadi seni tontonan yang sarat tuntunan,” ungkap Prof. Sudirga.
Lebih lanjut Guru Besar ISI Denpasar ini mengatakan, melalui FGD ini, sejatinya MKB merespons fenomena Calonarang di masyarakat yang dirasakan ada penyimpangan, untuk itu sesuai amanat Perda No 4, tentang Penguatan dan Pemajuan Kebudayaan, para pemegang kebijakan menekankan penyajian Calonarang tetap sesuai teks sastra, tatwa dan srada.
Agar calonarang ini menjadi tuntunan yang benar di masyarakat.
“Para narasumber menjelaskan, Calonarang itu ada yang klasik, pembaruan, prembon, bondres, di samping itu ada fenomena yang tidak lepas dari aspek religiusnya."
"Aspek tatwa dan srada yang perlu dikembalikan pada esensi hubungan religi pada seni itu sendiri. Harapanya dengan masukan dari para peserta ini kita akan inventarisir terus kita buatkan panduan dan akan kita distribusikan di masing- masing desa pakraman sebagai acuan, agar pihak penyelenggaran utamanya di mana pementasan ini digelar, sebagai pertunjukan sakral yang memiliki ruang tertentu dan tidak sembarangan,” terangnya.
Prof. Sudirga menambahkan, dalam FGD kali ini telah mendapat masukan serta merumuskan, seiring pesatnya teknologi informasi maka perubahan sikap secara kultural, sosial, dan spiritual telah melanda seni pertunjukan Bali tak terkecuali seni Calonarang sebagai seni pertunjukan klasik yang mengalami banyak perubahan baik bentuk, kandungan, dramatik, dan tata penyajian.
Perubahan Calonarang melalui pembaharuan dan pembauran bentuk berakibat pada pembauran identitas Calonarang.
Dominasi Calonarang mondres telah menurunkan keagungan dramatari calonarang yang cenderung menjadi seni sekuler menghibur.
Dominasi demonstrasi kekebalan pada semua jenis pertunjukan Calonarang menimbulkan benturan antara atraksi teatrikal simbolis dengan aksi-aksi realis.
Nah, untuk mensinergikan antara kreativitas dengan religiusitas menjadi sangat penting artinya bebas berkreativitas tanpa kehilangan pakem sebagai sumber nilai.
Etika nebek (menikam) rangda di “terajang” mesti ditabukan karena tempat ketinggian titi gangsa tersebut sebagi simbol Gunung Kailasa.
Rangda boleh ditikam ketika turun ke pertiwi dan itupun sudah didahului dengan pengruwakan seperti menebang pohon papaya dan sebagainya.
“Seniman, pemangku kepentingan (stakeholders) mesti memiliki kesadaran terhadap idealisme keluhuran seni Calonarang agar seni tetap bertaksu, dan tidak larut dalam selera pasar dan godaan kepentingan material,” tandas Komang Sudirga.
Salah satu narasumber Komang Indrawan (Mang Gases) menekankan seni pertunjukan Calonarang perlu bagaimana tata kelola penyajian yang benar.
“Seperti apa pepeson, pengawak, pengecet, pemegat, klasik atau modern. Kita harapkan si pelaku, penonton, penyelenggara, prajuru, pemegang kebijakan, apabila terjadi penistaan budaya atau agama siapa yang bertindak, jadi PHDI, MKB, MDA harus bersinergi,” tegasnya. (*)
Berita lainnya di Calonarang
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.